Kamis, 24 Oktober 2013

efektivitas pendidikan non formal



            Meningkatkan Efektivitas Pendidikan Non Formal dalam Pengembangan Kualitas Manusia         
A.                      P E N D A H U L U A N
Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.
Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.
B.                 Meningkatkan Efektivitas Pendidiakn Nonformal dalam Pengembangan Kualitas Manusia  
Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembangan kualitas  manusia (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.

1. Konsep Pendidikan Non Formal  dalam Meningkatkan Pengembangan Kualitas Manusia
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:
… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”
Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan peningkatan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia.dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
2 Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia.  untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi. 3. Pinsip-prinsip Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: • Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut. • Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri. • Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
• Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata. Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.
4. Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia  masyarakat. Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.
Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan. Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka. Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.




C. K E S I M P U L A N
Dari apa yang telah diuraikan terdahulu dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembangan kualitas manusia sebagai berikut :
• Pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam upaya-upaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam menjalankan perannya dalam kehidupan.
• meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembangan kualitas manusia Pendidikan nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya, pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
• Untuk mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis masyarakat, khususnya masyarakat desa




D.DAFTAR PUSTAKA

Tony Bush & Marianne Coleman. Manajemen mutu kepemimpinan pendidikan, (2012) IRCiSoD, Jogjakarta.
Faisal, Sanapiah, (tt). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.Nasution, S. (1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya
Sudjana SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama.
Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional















implementasi standar pengelolaan pendidikan Proposal (studi kasus SMK Hasanah Kota Pekanbaru)



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Pemerintah serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup menghadapi persaingan global. Kementerian pendidikan nasional dan kebudayaan sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam melaksanakan sistem pendidikan nasional menyadari bahwa tata nilai yang ideal akan sangat menentukan keberhasilan dalam melaksanakan proses pembangunan pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pasal 2 Standar Nasional Pendidikan pada Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pengelolaan Pendidikan, Standar Proses, dan Standar Penilaian, serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan.[1]
Keberhasilan program pendidikan nasional, akan sangat ditunjang dengan keberhasilan berbagai sumber daya yang memiliki daya saing dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan di masa depan sebagai akibat terjadinya globalisasi dari berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam dunia pendidikan. Menciptakan sumber daya, khususnya sumber daya manusia yang mempunyai daya saing, dapat diciptakan dengan proses pendidikan yang memenuhi harapan dan tuntutan para pengguna atau pengelola jasa pendidikan. Oleh sebab itu suatu proses pendidikan agar hasilnya mampu untuk menciptakan daya saing global, maka para pengelola pendidikan selayaknya harus melakukan penyempurnaan-penyempurnaan di dalam internal organisasi baik berkenaan dengan keadaan sumber daya manusia yang harus selalu dilakukan peningkatan-peningkatan kinerja dan pengetahuaanya, program-program pembelajaran, fasilitas (sarana dan prasarana) pembelajaran dan keuangan yang mampu untuk memfasilitasi pembelajaran di perlukan standar yang dapat dijamin sebagai patokan mutu pendidikan. Bagaimana fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dalam kurikulum, sehingga pembelajaran dapat bersinergi mencapai tujuan pendidikan.
Setiap pengelolaan pendidikan perlu memperhatikan dan menempatkan mutu sebagai alat untuk memperoleh manfaat terhadap perkembangan pendidikan yang dapat memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan pendidikan. Dalam hal peningkatan mutu, fokus yang terpenting adalah berkenaan dengan proses pendidikan tersebut sehingga mempunyai nilai yang bermanfaat bagi setiap pengguna jasa pendidikan umumnya, khususnya bagi lembaga dan individu yang mengikuti proses pendidikan. Strategi sistem manajemen mutu yang dapat diterapkan oleh setiap satuan pendidikan, baik berkenaan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan serta evaluasinya mengacu kepada Permendiknas No. 19 Tahun 2007, dimana peraturan tersebut merupakan dasar atau rujukan untuk dijadikan acuan dalam meningkatkan sistem manajemen mutu bagi sekolah.
Diberlakukannya otonomi daerah, maka sebagai konsekusensi logis bagi manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannya penyesuaian terhadap manajemen paradigma lama menuju manajemen pendidikan paradigma baru yang lebih bernuansa otonomi dan lebih demokratis. Paradigma lama, tugas dan fungsi sekolah hanya melaksanakan program yang telah dibuat oleh pemerintah pusat. Sementara sekolah tidak merumuskan program dan melaksanakannya berdasarkan inisiatif sendiri. Adapun dalam paradigma baru, sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya, dimana pengambilan keputusan dilakukan secara bersama/partisipatif dan peran masyarakat semakin besar. selain itu sekolah menjadi lebih fleksibel dalam mengelola lembaganya.
Paradigma baru manajemen pendidikan juga mengutamakan basis profesionalisme daripada basis birokrasi, dimana pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh kemandirian daripada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat tidak lagi bersifat mengontrol, tetapi lebih berperan dalam memotivasi dan memfasilitasi sekolah. Dalam pengelolaan dan penggunaan dana, akan lebih efisien karena sisa anggaran yang ada (tahun berjalan) dapat dipergunankan untuk anggaran tahun depan, juga lebih mengutamakan kerjasama, informasi terbuka, juga lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi yang sebelumnya vertikal cenderung horizontal sehingga lebih efisien.
Sekolah yang menerapkan Standar Pengelolaan Pendidikan menjadi tanggung jawab kepala sekolah yang memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap.
Perencanaan pendidikan harus didasarkan pada visi,misi yang ditetapkan oleh sekolah. Tanpa visi yang jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak di sekolah tersebut, maka setiap usaha pengembangan pendidikan akan menjadi kerja yang sia-sia, oleh karena itu semua sekolah harus membuat dan menentukan visi pendidikan yang akan menjadi dasar acuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pencapaian Standar Pengelolaan Pendidikan.
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable). Oleh karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, dan tata tertib melalui dengan mengupayakan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah penting dilakukan.
Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah harus menyadari ini, karenanya pengelolaan tenaga kependidikan harus dilakukan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbalan. Dalam pengembangan tenaga kependidikan, harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Singkatnya tenaga kependidikan yang diperlukan dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan adalah tenaga kependidikan yang memiliki komitmen tinggi, mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi dilihat dari proses belajar mengajar, hal ini ditunjukan oleh sifat belajar mengajar yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. Proses belajar mengajar bukan sekedar memorisasi atau recall, bukan sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos) akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos) PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar untuk mengetahui (learning to know) belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). Peserta didik harus memiliki motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Harapan tinggi dari pencapaian pengelolaan pendidikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan Standar Pengelolaan Pendidikan. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar-mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus-menerus.
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang yang dilakukan oleh warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk tujuan dan sasaran sekolah yang telah ditetapkan. Selain itu komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.
Dalam konteks pengelolaan pendidikan. Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua peserta didik, dan masyarakat.
Berdasarkan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program sekolah telah mencapai tujuan yang dikendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya dimasa yang akan datang. Sebaiknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman kinerjanya atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian pula orang tua dan masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program sekolah dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program di masa mendatang.
Jika kurang berhasil, maka orang tua dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program penggelolaan pendidikan yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah akan lebih serius dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.   
Pada hakikatnya masalah pengelolaan pendidikan dalam memanfaatkan dana dan sumber daya manusia, dibutuhkan sistem pengelolaaan pendidikan yang baik, yaitu dengan tenaga dan dana yang ada dapat meningkatkan pelaksanaan program pendidikan di sekolah SMK Hasanah Kota Pekanbaru dengan dihasilkannya sejumlah besar lulusan yang berkualitas tinggi dan  memiliki kompetensi keahlian. Oleh sebab itu keterpaduan pengelolaan pendidikan harus tampak diantara semua unsur dan unit, baik antar sekolah dan antar dinas pendidikan. Pendidikan mempersoalankan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tabel 2.9 Pencapaian Kelulusan Siswa SMK Hasanah Kota Pekanbaru Tahun 2012
No
Pencapaian Kelulusan tahun 2012
Target
Realisasi
1
Tingkat kelulusan Kejuruan
100%
100%
2
Keterserapan Lulusan
50%
10%
3
Kemampuan siswa mengikuti Diklat
90%
50%
Sumber Data: Data olahan SMK Hasanah Kota Pekanbaru
Dilihat dari fenomena yang ada SMK Hasanah  Kota Pekanbaru di satu sisi telah menerapkan Quality Manajemen System (ISO 9001:2008), tetapi masih ada program yang belum tercapai sesuai dengan target yang diiinginkan. Ini menunjukan bahwa tingkat keberhasilan terhadap implementasi pengelolaan pendidikan  dalam peningkatan mutu sekolah yang dibuat SMK Hasanah Pekanbaru belum terealisasi sesuai dengan fungsi pengelolaan.
Berdasarkan informasi dari pra-penelitian diketahui bahwa implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan belum berjalan dengan baik yang dapat dilihat dari indikasi sebagai berikut:
1     Masalah kurikulum, pengembangan tenaga kependidikan dilapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaharuan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari pelaksana lapangan tetapi pembekalan untuk dapat siap melaksanakannya terlambat dan tetap dengan pola yang sudah ada.
2     Jadwal akademik yang mengatur pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan ekstrakurikuler tidak terkondisi dengan baik dikarenakan libur diluar jam pelajaran.
3     Belum banyak terserapnya tenaga kerja untuk alumni SMK Hasanah Kota Pekanbaru.
4     Belum terprogramnya pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan dengan baik, khususnya penempatan guru bidang studi, sering mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan. Sekolah menerima guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedang guru bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena guru bidang studi harus merangkap mengajarkan bidang studi diluar kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena karena terbatasnya jumlah yang memiliki kompetensi dan sulitnya menjaring tenaga pendidik yang berkompeten di bidangnya.
5     Pedoman dan tata tertib sekolah sudah dibuat tetapi dalam pelaksanaannya tenaga pendidik dan siswa masih melanggar aturan dari pelaksanaan yang ada, guru dan siswa SMK Hasanah Kota Pekanbaru masih juga ada yang terlambat ke sekolah. Masih ada guru  yang belum mampu mengerjakan perangkat kelas yang dibutuhkan sebagai media pembelajaran untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan efisien.
6      Penilaian hasil belajar peserta didik masih sebatas nilai semester saja, seharusnya guru dapat melaksanakan penilaian harian dan disimpan ke dalam file dan dapat dibutuhkan sewaktu dibutuhkan.
7     Pengawasan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru belum belum berjalan sesuai dengan Standar Pengelolaan Pendidikan, hasil pemantauan, supervisi, evaluasi dan pelaporan belum memperbaiki kinerja sekolah dalam pengelolaan pembelajaran secara keseluruhan. SMK Hasanah Kota Pekanbaru harus bertanggung jawab dan berkelanjutan dalam melakukan pengawasan. Pemantauan dilakukan oleh komite sekolah, sedangkan supervisi dilakukan secara teratur dilakukan oleh kepala sekolah, guru melaporkan hasil evaluasi dan penilaian sekurang-kurangnya kepada kepala sekolah.
8     Perencanaan program sekolah di SMK Hasanah Kota Pekanbaru belum menyeluruh memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan pada warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan. Pengawasan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru lebih kepada bagaimana pencapaian prestasi siswa, bukan kepada perubahan sikap peserta didik secara kognitif, afektif dan psikomotorik anak.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, sudah menjadi kewajiban bagi Sekolah SMK Hasanah Kota Pekanbaru perlu mengimplementasikan Standar Pengelolaan Pendidikan dengan mengacu kepada upaya pemenuhan capaian persentase setiap indikator Standar Pengelolaan Pendidikan yang ada. Sehubungan dengan itu maka  motivasi penulis dalam penelitian ini adalah ingin mengakaji secara empiris implementasi pengelolaan pendidikan dalam meningkatkan mutu pendidikan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru melalui penelitian ini dengan judul: Implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan (Studi Kasus pada SMK HASANAH Kota Pekanbaru).



B.    Fokus dan Subfokus Penelitian
Sejalan dengan fenomena yang disebutkan di atas,  maka yang menjadi fokus penelitian Implementasi Permendiknas No 19 Tahun 2007 dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan sesuai mutu dan target sekolah.
Mengacu kepada Standar Pengelolaan Pendidikan (sesuai Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007) yang memuat:
A.   Perencanaan Program (Visi Sekolah, misi sekolah, tujuan sekolah, rencana kerja sekolah, program kerja yang meliputi rencana kerja jangka menengah (4tahun) dan rencana kerja tahunan).
B.   Pelaksanaan rencana kerja (pedoman sekolah, struktur organisasi sekolah, pelaksanaan kegiatan sekolah, bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan pembelajaran, bidang sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya dan lingkungan sekolah, peran serta masyarakat dan kemitraan sekolah).
C.   Pengawasan Evaluasi (program pengawasan, evaluasi diri, evaluasi dan pengembangan KTSP, evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan, dan Akreditasi Sekolah).
D.   Kepemimpinan Sekolah.
E.   Sistem Informasi Manajemen.
F.    Penilaian Khusus.
Berdasarkan rumusan fokus penelitian diatas, maka sub fokus penelitian ditetapkan pada Standar Pengelolaan melalui: (1) Perencanaan kurikulum dan peraturan akademik dalam mencapai standar pengelolaan pendidikan,  (2) Pelaksanaan kinerja sekolah dalam mencapai standar pengelolaan pendidikan, dan (3) Pengawasan dan evaluasi pengelolaan dalam mencapai standar pengelolaan pendidikan.
C.    Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti menentukan pertanyaan dalam penelitian ini adalah
1.    Bagaimana pelaksanaan kurikulum dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru pada tahun 2010-2013?
2.    Bagaimana pelaksanaan peraturan akademik dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru pada tahun 2010-2012?
3.    Bagaimana pelaksanaan kinerja sekolah dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru pada tahun 2010-2012?
4.    Bagaimana pengawasan dan evaluasi pengelolaan dalam mencapai Standar Pengelolaan pendidikan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru pada tahun 2010-2012?
D.   Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru melalui Implementasi Permendiknas No 19 Tahun 2007 sesuai mutu dan target sekolah dari tahun 2010-2013.
1.    Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan dalam pelaksanaanya di SMK Hasanah kota Pekanbaru.
2.    Mengetahui perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kurikulum dan akademik di SMK Hasanah Kota Pekanbaru  dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan.
3.    Mengetahui pelaksanaan kinerja pengawas dan kinerja sekolah dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan.
4.    Pengawasan dan evaluasi dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan.





E.   Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengkayaan masalah penelitian empirik manajemen pendidikan di bidang implementasi pengelolaan pendidikan melalui penjabaran Permendiknas No 19 Tahun 2007, secara khusus penelitian dapat memberi manfaat:
1.    Bagi Kepala Sekolah
Bagi kepala sekolah sebagai masukan dalam membuat kebijakan terutama yang berkenaan dengan peningkatan Standar Pengelolaan Pendidikan di sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
2.    Bagi Guru
Dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan diri dan profesinya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan  pengajaran.
3.    Bagi Pegawai
Bahan pertimbangan bagi pegawai di SMK Hasanah Kota Pekanbaru lebih profesioanal dan terampil serta lebih bersikap dan berprilaku sebagai aparatur negara yang disiplin, penuh pengabdian dan keteladanan dalam melaksanakan tugas serta menambah khasanah kajian ilmu sumber daya manusia.
4.    Bagi Lembaga Pendidikan
Dapat dijadikan pedoman untuk merencanakan dan mengembangkan sumberdaya belajar dan pemikiran strategik di sekolah. Pengembangan sekolah diarahkan pada pengembangan kualitas pengelolaan yang menuju pada peningkatan mutu hasil belajar siswa.
5.    Bagi Peneliti dan Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti  meningkatkan pengetahuan dan pengalaman. Bagi peneliti lain dapat dijadikan sebagai dasar analisis kasus-kasus atas implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan suatu kebijakan Permendiknas No 19 Tahun 2007. Diharapkan penelitian ini dapat diteruskan oleh peneliti lain dengan cakupan lebih luas dan mendalam.










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Implementasi Kebijakan
1.    Pengertian Implementasi
Makna implementasi dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah pelaksanaan, penerapan, sedangkan mengimplementasikan adalah melaksanakan atau menerapkan. Implementasi merupakan suatu proses penerapan, ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap.[2] Dalam Oxford Advance Learner’s Dictionery (OALD) dikemukakan bahwa implementasi adalah “Put something into effect” (penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak).[3]
Sejalan dengan pengertian di atas, Miller dan Seller mengungkapkan sebagai mana dikutip Mulyasa bahwa “Implementasi juga diartikan sebagai aktualisasi, proses penerapan konsep, ide, program, atau tatanan kegiatan kedalam praktik pembelajaran atau aktifitas-aktifitas baru sehingga terjadi perubahan pada sekelompok orang yang diharapkan untuk berubah”.[4] Dari pendapat diatas implementasi sebagai proses penerapan ide, kebijakan dalam suatu proses dalam suatu aktivitas pendidikan.
Menurut Parsons, implementasi adalah sesuatu yang melibatkan pengakuan bahwa organisasi mengandung keterbatasan manusia dan organisasional, dan bahwa manusia dan organisasi itu harus dianggap sebagai sumber daya. Implementasi yang efektif adalah sebuah kondisi yang dapat dibangun dari pengetahuan dan pengalaman dari orang-orang yang ada di garis depan pemberian layanan.[5]
Berikutnya Merile Grindle yang dikutip Budi Winarno memandang secara umum bahwa sebuah implementasi bertugas membentuk suatu ikatan (linkage) yang mudah merealisasikan tujuan sebagai dampak dari kegiatan. Tugas implementasi mecakup terbentuknya sistem pencapaian sebuah kebijakan, dimana melalui kebijakan ini sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan akan sampai kepada tujuan yang diinginkan.[6]
Dengan demikian implementasi yang sukses membutuhkan sistem yang baik, sebagaiman dinyatakan oleh Nugroho bahwa sebuah sistem implementasi yang sukses melibatkan empat tipe kontrol yang efektif yaitu
1.    Koordinasi malampaui waktu artinya mekanisme kontrol dilakukan tidak hanya terikat pada jam kerja melainkan koordinasi secara optimal dan informal
2.    Koordinasi pada waktu waktu tertentu artinya kontrol perlu terjadwal dan diketahui oleh kedua belah pihak secra koordinasi
3.    Logistik mendetail dan penjadwalan artinya unsur pendukung proses kontrol harus tersedia secara memadai dan tepat guna
4.    Pertambahan batas-batas struktural artinya kewenangan tugas dan tanggung jawab pada setiap unsur organisasi harus jelas sehingga mekanisme control mudah diterapkan[7]
Seperti yang dinyatakan Parsons yang diterjemahkan oleh Robert menyebutkan terdapat 4 elemem yang mempengaruhi implementasi
1.    Merumuskan tujuan dan menentukan rencana
2.    Memonitor rencana tersebut
3.    Menganalisis apa yang telah terjadi berkenaan dengan apa yang sebenarnya
4.    Mengimplementasikan perubahan supaya dapat meminimalkan kegagalan untuk merealisasikan suatu tujuan.[8]
Implementasi merupakan suatu proses penerapan, pelaksanaan ide, konsep, dan kebijakan, program atau tatanan kegiatan kedalam praktik manajemen.
 Quality is an evalution of the process of educating which enhances the need to achieve and develop the talents of customers of the process, and at the same time meets the accountability standars set by the clients who pay for the process or the outputs from the process of educating. [9]

Berdasarkan pengertian dan pendapat yang dikemukan oleh para ahli diatas maka dapat disimpulkan implementasi yaitu:
a.    Merupakan suatu proses penerapan, pelaksanaan ide, konsep, dan kebijakan, program atau tatanan kegiatan kedalam praktik manajemen didalam satu organisasi serta aktivitas-aktivitas baru
b.    Implementasi dipengaruhi oleh keputusan dalam bentuk peraturan perundangan sebagai suatu pelaksanaan kegiatan dan diharapkan dapat mengatasi suatu masalah, tujuan yang akan dicapai dan cara untuk memecahkannya
c.    Implementasi menjadi suatu kesalahan besar jika yang dilaksanakan dengan yang dirancang tidak sesuai dengan rancangan maka  implementasi tidak berjalan lancar atau dalam masalah besar dan bisa dikatakan gagal
2.    Sifat-sifat Implementasi
Terkait dengan pengertian di atas Wayne Parsons mengatakan bahwa implementasi memiliki sifat “implementasi” itu sendiri pada dasarnya terdiri dari pengulangan dan penyebaran proses pemikiran yang disebut sebagai. Pelaksanaan (opertionalising), Penataan (Organising), Perekayasaan (desain) yang disebut pemrograman (programming).[10]
3.    Tujuan Implementasi Kebijakan
Setiap kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan baik yang berorientasi pencapaian tujuan maupun pemecahan masalah ataupun kombinasi dari keduanya secara tepat, Tachjan menjelaskan tentang tujuan kebijakan publik adalah dapat diperolehnya nilai-nilai oleh publik, baik yang bertalian dengan publik goods (barang publik) maupun publik service (jasa publik), nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan oleh publik untuk meningkatkan kualitas hidup baik fisik ataupun non fisik.[11]
4.    Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Implementasi
a.    Komunikasi (Comunication): faktor komunikasi dianggap penting, karena dalam proses kegiatan yang melibatkan unsur manusia dan unsur sumber daya akan selalu berurusan dengan permasalahan “bagaimana hubungan yang dilakukan”
b.    Ketersedian sumber daya (Resourse): berkenaan dengan sumber daya pendukung untuk melaksanakan kebijakan yaitu: sumber manusia, informasi, kewenangan, sarana dan prasarana dan pendanaan.
c.    Sikap dan komitmen dari pelaksanaan program (disposition) berhubungan ketersedian dari pada implementor untuk menyelesaikan kebijakan publik tersebut.
d.    Struktur birokrasi (bureaucratic structure):  menjelaskan susunan tugas dan para pelaksana kebijakan , memecahkan dalam rincian tugas serta menetapkan prosedur standar operasi
5.    Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan
Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, para ahli mengidentifikasikan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Dari kumpulan faktor tersebut bisa kita tarik benang merah faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik. Faktor-faktor tersebuat adalah
·         Isi atau kontent kebijakan tersebut. Kebijakan yang baik dari isi kontent setidaknya mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: jelas, tidak distorsif, didukung oleh dasar teori yang teruji, mudah dikomunikasikan ke kelompok target, didukung oleh sumberdaya baik manusia maupun finansial yang baik.
·         Implementator dan kelompok target. Pelaksanaan implementasi kebijakan tergantung pada badan pelaksana kebijakan (implementator) dan kelompok target (target groups). Implementator harus mempunyai kapabilitas, kompetensi, komitmen dan konsistensi untuk melaksanakan sebuah kebijakan, selain itu kelompok target yang terdidik dan relativ homogen akan lebih mudah menerima sebuah kebijakan daripada kelompok yang tertutup, tradisional dan heterogen. Lebih lanjut, kelompok target yang merupakan bagian besar dari populasi juga akan lebih mempersulit keberhasialn implementasi kebijakan.
·         Lingkungan. Keadaan sosial-ekonomi, politik, dukungan publik maupun kultur populasi tempat sebuah tempat sebuah kebijakan diimplementasikan juga akan mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik. Kondisi sosial ekonomi, budaya keseharian yang mendukung implementasi sebuah kebijakan.[12] 

B.   Standar Pengelolaan Pendidikan Nasional
1.    Pengertian
Pada dasarnya Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar Nasional Pendidikan memuat kriteria minimal  Semua input dan kegiatan sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu sekolah dan kebutuhan peserta didik terpenuhi. tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya.
Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar penilaian pendidikan dan standar pengelolaan. Tilaar menjelaskan fungsi standar nasional pendidikan adalah penyesunan strategi dan rencana pengembangan sesudah diperoleh data-data evaluasi belajar secara nasional.[13]
Menurut pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa standar merupakan panduan prosedur untuk dipertimbangkan dan untuk diikuti, standar memiliki potensi yang sangat bermanfaat dalam penerapan pengelolaan pendidikan di sekolah. Pengelolaan adalah suatu istilah yang berasal dari kata “kelola” mengandung arti serangkaian usaha yang bertujuan untuk menggali dan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan tertentu yang telah direncanakan sebelumnya.
Menurut Hidayat “pengelolaan merupakan kegiatan engineering yaitu kegiatan to produce, to implement and to appraise the effectiveness”.[14] Pengelolaan adalah suatu rangkaian kegiatan yang berintikan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dapat diartikan pengelolaan pendidikan sebagai upaya untuk menerapkan kaidah-kaidah administrasi dalam bidang pendidikan. Beberapa ketentuan di atas, menunjukkan bahwa setiap penyelenggaraan pendidikan dikelola berdasarkan standar yang sudah ditetapkan, yang terdiri dari tiga komponen utama, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, sehingga tercapai penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien, yakni terwujudnya berbagai sarana dan peralatan sebagai penunjang pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran sehingga mempercepat proses pencapaian tujuan pendidikan.
Peraturan Pemerintah RI. Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 1 ayat (9) tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa: Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan kabupaten/ kota, Provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.[15] Sejalan dengan itu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan pengertian Standar Pengelolaan adalah Standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, propinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan.[16]
Dalam standar pengelolaan ini, pendidikan dikelola  oleh satuan pendidikan yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian kepada satuan pendidikan untuk mengelola kegiatan sekolah sesuai dengan rencana yang sudah ditentukan untuk mencapai satandar mutu.
Menurut Rieny Susilowati Standar Pengelolaan Pendidikan adalah standar dalam mengelola pendidikan dalam satu lembaga pendidikan.[17] Secara lebih rinci peraturan ini diatur dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007, dan dipertegas lagi secara menyeluruh untuk setiap satuan pendidikan oleh PP No.17 Tahun 2010.

2.    Fungsi Pengelolaan Pendidikan
Fungsi pengelolaan pendidikan mengikuti pada fungsi-fungsi manajemen/administrasi pada umumnya, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan pengembangan.
·         Perencanaan (Planning) Perencanaan adalah penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan. Pembatasan yang terakhir merumuskan perencanaan merupakan penetapan pada tindakan apa yang harus dilakukan? Apa sebab tindakan itu harus dikerjakan? Siapakah yang mengerjakan tindakan itu? Bagaimanakah caranya melaksanakan tindakan itu?
·         Pengorganisasian (Organizing) organisasi adalah dua orang atau lebih yang bekerjasama dalam cara yang terstruktur untuk mencapai sasaran specific atau sejumlah sasaran. Dalam sebuah organisasi membutuhkan seorang pemimpin, pekerjaan memimpin meliputiu beberapa kegiatan yaitu mengambil keputusan, mengadakan komunikasi agar ada saling pengertian antara atasan dan bawahan, member semangat, inspirasi dan dorongan kepada bawahan agar supaya mereka melaksanakan apa yang diperintahka.
·         Pengarahan (Directing) Pengarahan adalah fungsi pengelolaan yang berhubungan dengan usaha member bimbingan, saran, perintah-perintah atau intruksi kepaad bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing, agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik dan benar-benar tertuju pada tujuan yang telah ditetapkan semula.
·         Pengawasan, pengawasan adalah fungsi pengelolaan yang berhubungan dengan usaha pemantauan kinerja agar kinerja tersebut terarah dan tidak melenceng dari aturan yang sudah ditetapkan dan pemantauan berfungsi sebagai media agar kinerja tersebuat terarah dan tersampaikan secara tepat.
·         Pengembangan adalah fungsi pengelolaan yang harus dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu pengelolaan, dengan adanya pengembangan pengelolaan akan berjalan sesuai dan melebihi target yang akan diperoleh. Tanpa suatu program yang baik sulit kiranya tujuan pendidikan akan tercapai. [18]
Oleh karena itu, pengelolaan harus disusun guna memenuhi tuntutan, kebutuhan, harapan dan penentuan arah kebijakan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Pengelolaan kerja SMK merupakan penjabaran rugas dan pelaksanaan, mengacu kepada pengelolaan yang ada sehingga proses dan pelaksanaan aktifitas di sekolah lebih terukur, terpantau dan terkendali. Pengelolaan pendidikan sebagai acuan bagi sekolah dalam mengukur, mengevaluasi dan merevisi kegiatan-kegiatan yang dianggap perlu. Selain itu pengelolaan pendidikan bertujuan sebagi upaya sekolah dalam mendukung tujuan pendidikan Nasional.[19]


3.    Isi Standar Pendidkan
Dalam rangka pelaksanan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pemerintah perlu menetapkan peraturan menteri pendidikan nasional tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh satuan pendidikan dasar dan menengah.  Setiap satuan pendidikan wajib memenuhi Standar Pengelolaan Pendidikan yang berlaku secara nasional. Pada satuan pendidikan penjabaran pengelolaan pendidikan dijelaskan pada Permendiknas No 19 Tahun 2007.
a.    Standar kompetensi lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan ( PP 32/2013 pasal 1 ayat 5)
b.    Standar Isi adalah kriteria mengenairuang lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis  pendidikan tertentu (pasal 1 ayat 6)
c.    Standar proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan (pasal 1 ayat 7)
d.    Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria mengenai pendidikan mengenai pendidikan prajabatan kelayakan maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan (pasal 1 ayat 8)
e.    Standar pengelolaan adalah kriteria mengenai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan (pasal 1 ayat 10)
f.     Standar pembiayaan adalah kriteria mengenai komponen dan besarnya biaya oiperasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun (pasal 1 ayat 12)
g.    Standar penilaian pendidikan adalah kriteria mengenai mekanisme, prosedur, dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik (pasal 1 ayat 12).[20]

C.    Ruang lingkup Standar Pengelolaan Pendidikan
Permendiknas No 19 Tahun 2007  pasal I menjelaskan setiap lembaga pendidikan  wajib memenuhi standar Pengelolaan Pendidikan Nasional yaitu Perencanaan Program, Pelaksanaan Rencana Kerja, Pengawasan dan evaluasi, Kepemimpinan Sekolah, Sistem Informasi Manajemen dan Penilaian Khusus.  Ruang lingkup pengelolaan pendidikan merupakan upaya untuk menggali, memupuk, menggerakan dan mempertahankan sumber daya pendidikan secara seimbang dan berkesinambungan demi tercapainya tujuan melalui sistem kerja sama. Adapun bidang pengelolaan antara lain:  Program pengelolaan sistem kerja sama disetiap bidang garapan melalui: Pengelolaan kurikulum, pengelolaan kesiswaan, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan keuangan, pengelolaan sarana dan prasarana, pengelolaan potensi masyarakat sekitar,  pengelolaan administrasi sekolah, pengelolaan laboratorium, pengelolaan perpustakaan, pengelolaan hasil penelitian dan pengelolaan manajemen keterampilan.
Pengelolaan yang baik akan menghasilkan mutu pendidikan yang baik dimana mutu yang berdasarkan kebutuhan yang menjadikan harapan dari pelanggan dapat dipenuhi dan dan pelanggan berkeinginan dengan produk yang kita hasilkan. Untuk memandang mutu dari sebuah lembaga persekolahan sebenarnya dapat kita lihat secara komprehensif, yaitu dimulai dari ketesediaan sarana prasarana penunjang, profesionalisme pengajar dan staf, budaya organisasi yang kondusif, kepemimpinan yang berkualitas, pengelolaan keuangan yang transparan. Apabila unsure-unsur tersebut memperlihatkan performa yang maksimal, maka sekolah yang berkualitas yang mengarah pada lembaga dapat diwujudkan.
1.    Pengelolaan kurikulum
 kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum berkaitan dengan sesuatu yang menjadi pedoman dalam seluruh kegiatan pendidikan yang dilakukan, termasuk didalamnya adalah kegiatan belajar mengajar di kelas. Terkait dengan ini, kurikulum dipandang sebagai suatu program yang didesain, direncanakan, dikembangkan dan akan dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar yang disengaja diciptakan di lembaga pedidikan.
Maksud dari pengelolaan kurikulum adalah suatu sistem pengelolaan yang kooperatif, komprehensif, sistematik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan ketercapaian tujuan kurikulum. Pengelolaan merupakan kegiatan engineering: yaitu kegiatan to produce, to implement and to appraise the effectiveness of the curriculum.[21]
Komponen dan tahapan dalam pengelolaan kurikulum terdiri dari tujuan, isi, metode dan evaluasi. Komponen tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

                                               Gambar  3.31






TUJUAN
 


 
ISI
 
EVALUASI
 
                                                                                                    


METODE
 
 



Komponen Kurikulum
Komponen-komponen tersebut merupakan suatu sistem yang harus saling terkait. Manakala salah satu komponen yang membentuk sistem kurikulum terganggu atau tidak berkaitan dengan komponen lainnya, maka sistem kurikulum pun akan terganggu. Tahapan dalam pengelolaan kurikulum lembaga sekolah setidaknya terdiri dari empat tahap yaitu: perencanaan, pengorganisasian dan koordinasi, pelaksanaan dan pengendalaian. 
2.    Pengelolaan Peserta Didik
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Oemar Hamalik mendefenisikan peserta didik sebagai suatu komponen masukan dalam sistem pendidikan, yang selanjutnya di dalam proses pendidikan peserta dididk  menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.[22]
Pengelolaan peserta didik atau Pupil Personal Administration adalah layanan yang memusatkan perhatian pada pengaturan, pengawasan, dan layanan Siswa di kelas dan di luar kelas seperti: pengenalan, pendaftaran, layanan individual. Manajemen peserta didik juga dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik tersebut masuk pada lembaga pendidikan sampai dengan mereka lulus.
Tujuan manajemen peserta didik adalah mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik agar kegiatan-kegiatan dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pendidikan secara keseluruhan. Sedangkan fungsi manajemen peserta didik adalah wahana bagi peserta didik untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin, baik dari aspek individual, sosial, aspirasi, kebutuhan dan aspek-aspek potensi lainnya. Tahapan pengelolaan peserta didik adalah:
a)    Analisa kebutuhan peserta didik. Analisa kebutuhan adalah penetapan siswa yang dibutuhkan oleh lembaga sebuah pendidikan.
b)    Rekruitmen peserta didik. Rekruitmen peserta didik adalah proses pencarian, menentukan dan menarik calon siswa yang mampu untuk menjadi peserta didik di lembaga pendidikan.
c)    Seleksi peserta didik. Seleksi peserta didik adalah kegiatan pemilihan calon peserta didik untuk menentukan diterima atau tidaknya calon peserta didik menjadi peserta didik di lembaga pendidikan tertentu.
d)    Orientasi. Orientasi peserta didik adalah kegiatan penerimaan Siswa baru mengenalkan situasi dan kondisi lembaga pendidikan tempat mereka menempuh pendidikan.
e)    Penempatan peserta didik. Sebelumnya peserta didik yang telah diterima pada sebuah lembaga pendidikan mengikuti proses pembelajaran, terlebih dahulu perlu ditempatkan dan dikelompokkan dalam kelompok belajarnya. Pengelompokan peserta didik dilaksanakan pada umumnya didasarkan kepada sistem kelas.
f)     Pembinaan dan pengembanagn peserta didik. Langkah berikutnya dalam manajemen peserta didik adalah melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap peserta didik.
g)    Pencatatan dan pelaporan. Pencatatan dan pelaporan tentang peserta didik di sebuah lembaga pendidikan dimaksudkan sebagai database, dokumumentasi dan evaluasi atas kegiatan pendidikan yang dilakukan.
h)   Kelulusan dan alumni. Proses kelulusan adalah kegiatan paling akhir dari manajemen peserta didik. Kelulusan adalah pernyataan dari lembaga pendidikan tentang telah diselesaikannya program pendidikan yang harus diikuti oleh peserta didik. [23]




3.    Pengelolaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhusannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Sedangkan tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.[24]
Pengelolaan pendidikan dan tenaga kependidikan adalah aktivitas yang harus dilakukan mulai dari masuknya tenaga pendidik dan kependidikan ke dalam organisasi melalui proses perencanaan SDM, perekrutan, seleksi, penempatan, pemberian kompensasi, penghargaan, pendidikan dan latihan/pengembanagn dan pemberhentian.
Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Dalam pelaksanaan  tugasnya pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai, penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, pembinaan karir sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas, perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual dan kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Sesuai dengan fungsinya pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis, mempunyai komitmen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan dan member teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
4.    Pengelolaan Keuangan
Pembiayaan atau pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara Pemenrintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Dalam rangka memenuhi tanggung jawab pendanaan tersebut, Pemerintah dan pemerintah daerah dan masyarakat mengerahkan sumberdaya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dikelola berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transfaransi, dan akuntabilitas publik.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa alokasi dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).[25]
5.    Pengelolaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana pendidikan adalah segala sesuatu yang meliputi peralatan dan perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah seperti gedung, ruangan, meja, kursi, alat peraga, buku pelajaran dan lain-lain. Sedangkan prasarana adalah semua komponen yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses belajar mengajar di sebuah lembaga pendidikan dan lain-lain.
Pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan adalah kegiatan menata, mulai dari merencanakan kebutuhan, pengadaan, inventarisasi, penyimpanan, pemeliharaan, penggunaan dan penghapusan serta penataan lahan, bangunan, perlengkapan, dan perabot secara tepat guna dan tepat waktu.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa “setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”.[26]
Sarana dan prasarana pendidikan sesungguhnya dapat dikelompokan dalam empat kelompok, yaitu tanah, bangunan, perlengkapan, dan perabot SMK (site, building, equipment, and furniture). Agar sarana prasarana tersebut dapat memberikan manfaat secara maksimal dalam proses pendidikan, maka harus dikelola dengan baiak ( school plant administration) pengelolaan sarana prasarana tersebut meliputi perencanaan, pengadaan, inventarisasi, penyimpanan, penataan, penggunaan, pemeliharaan dan penghapusan.
6.    Pengelolaan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Hubungan sekolah dengan masyarakat (public relation) adalah hubungan timbale balik antara suatu organisasi sekolah dengan masyarakatnyaa. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sekolah mendapatkan tempat signifikan dalam pengelolaan Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam UUSPN. Dengan adanya komite sekolah diharapkan semua stakeholders pendidikan mengambil peran yang maksimal, sehingga sekolah mampu memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakatnya.[27]
Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Kerjasama sekolah dengan masyarakat adalah semua bentuk kegiatan bersama yang langsung atau tidak langsung bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dengan demikian semua bentuk dukungan masyarakat termasuk dukungan orang tua siswa adalah wujud kerjasama. Begitu juga semua kegiatan disekolah, termasuk proses belajar mengajar yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat, adalah wujud kerjasama yang perlu ditingkatkan.
Unsur-unsur masyarakat yang dapat menjalin kerjasama dalam pendidikan diantaranya adalah orang tua siswa, warga dan lembaga masyarakat disekitar sekolah, tokoh masyarakat, lembaga agama, organisasi kemasyarakatan, pemerintah setempat, petugas keamanan dan ketertiban, sesama lembaga sekolah, pengusaha pedagang dan industri.
Azas yang menjadi landasan melaksanakan kerjasama antara lembaga sekolah dengan unsur-unsur masyarakat tersebut adalah pertama, menguntungkan dalam aktifitas kerjasama yang dilakukan. Kedua azas gotong royong. Hubungan kerjasama tidak harus selamanya didasarkan pada keuntungan materi akan tetapi aspek sosial juga menjadi hal sangat penting dalam menjalin hubungan. Asas gotong royong adalah landasan sosial tersebut. Ketiga birokrasi. Asas ini merupakan landasan professional-administratif sebagai lembaga/organisasi pendidikan dalam melakukan hubungan dan kerjasama dengan masyarakat.
Banyak bentuk program yang dapat dilakukan dalam melaksanakan hubungan dan sifat kerja sama sekolah dengan masyarakat, hal ini tergantung pada tujuan dan sifat kerjasama yang dilakukan. Pada prindipnya kerjasama sekolah dengan masyarakat harus merupakan frame work sekolah, sehingga dalam pelaksanaanya setiap komponen memperoleh gambaaran dalam menjalankan kegiatan sesuai dengan apa yang telah diprogramkan sekolah.
D.   Implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan
Implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan  memiliki Komponen dari standar pengelolaan sekolah yaitu pengawasan dan evaluasi dimana kegiatan tersebut sudah tergabung dalam perencanaan kegiatan. Pengawasan dan evaluasi juga berkaitan dengan komponen kepemimpinan kepala sekolah, dimana kepala sekolah memiliki kewajiban melakukan kegiatan tersebut. Kepala sekolah harus melakukan pengawasan dan evaluasi disesuaikan dengan rencana kerja yang sudah dibuat.
Naskah rencana kerja merupakan dasar untuk melakukan pengawasan dan evaluasi. Hal-hal yang sudah ditetapkan dapat dikendalikan, apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dapat dicarikan  jalan keluarnya bersama-sama, dengan guru dan komite sekolah. Unsur pengawasan dan evaluasi yang dilaksanakan adalah untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap guru-guru disekolah, menyangkut delegasi penjabaran visi, misi, dan peningkatan pelaksanaan program kegiatan sekolah melalui implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan.
1.    Perencanaan Program
Perencanaan program mencakup perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan rencana kerja sekolah. Visi sekolah adalah cita-cita bersama warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan, yang menggambarkan dan memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk kepentingan masa mendatang. Misi sekolah adalah arah untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan, menjadi dasar program pokok sekolah dengan penekanan pada kualitas layanan pada peserta didik dan mutu lulusan yang diharapkan.
Sedangkan tujuan sekolah menggambarkan tingkat kualitas yang perlu dicapai dalam jangka menengah (empat tahunan), mengacu pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan masyarakat. Rencana kerja mencakup pertama rencana kerja jangka menengah (empat tahun) yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu empat tahun berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai, serta perbaikan komponen pendukungnya. Kedua rencana kerja tahunan yang dinyatakan dalam rencana kegiatan dan anggaran sekolah, berdasarkan rencana jangka menengah.
Bryson menyatakan “perencaan program adalah bagaimana mengelola ide untuk mewujudkan visi dan menjalankan misi, pendidikan perlu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan”.[28] yang antara lain meliputi kriteria yang esensial dari berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Acuan dasar tersebut  merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu. Standar nasional pendidikan sebagai penjabaran visi dan misi pendidikan nasional tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Perencanaan program dalam pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan meliputi : Pembuatan Visi, Misi, Tujuan, dan rencana Kerja.[29]

2.    Pelaksanaan
Pelaksanaan rencana kerja mengatur berbagi aspek pengelolaan secara tertulis yang mudah dibaca oleh pihak-pihak yang terkait. Dalam merumuskan rencana kerja harus mempertimbangakan visi, misi dan tujuan sekolah, selalu ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan masyarakat. Rencana kerja dibuat harus menjelaskan secara detail dan tugas tentang aspek-aspek mutu yang ingin dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan, kapan dan dimana dilaksanakan dan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Hal ini diperlukan untuk mempermudah sekolah dalam menjelaskan dan memperoleh dukungan dari pemerintah maupun dari orangtua peserta didik, baik secara moral maupun financial untuk melaksanakan rencana kerja sekolah.
Pelaksanaan rencana kerja di sekolah berdasarkan  Permendiknas No 19 Tahun 2007 merupakan dasar untuk melakukan pengawasan dan evaluasi. Hal- hal yang sudah ditetapkan dapat dikendalikan, apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dapat dicarikan  jalan keluarnya bersama-sama, dengan guru dan komite sekolah.
Unsur pengawasan dan evaluasi yang menonjol dilaksanakan adalah pengawasan berupa catatan pribadi sekolah. Catatan ini diperlukan untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap guru-guru disekolah, menyangkut delegasi penjabaran visi, misi, suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu, implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh obyek berikutnya yaitu kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, keuangan dan pembiayaan budaya dan lingkungan sekolah, humas atau peran serta masyarakat dan kemitraan sekolah.
Dapat disimpulkan pelaksanaan rencana kerja di dalam Permendiknas No 19 Tahun 2007 di setiap satuan pendidikan dapat menjalin kemitraan dan kerja sama dengan masyarakat dan lembaga lain untuk mendukung program pelaksanaan kegiatan sekolah dalam rangka pengelolaan pendidikan. Pelaksanaan Rencana Kerja Sekolah/Madrasah meliputi seluruh bidang pelaksanaan operasional sekolah, meliputi: bidang kesiswaan, kurikulum dan kegiatan pembelajaran, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, keuangan dan pembiayaan, budaya dan lingkungan sekitar serta peran serta masyarakat dan kemitraan sekolah. Seluruh bidang tersebut diselenggarakan dan dikelola oleh satuan pendidikan yang dibentuk dalam struktur organisasi sekolah.
Struktur organisasi sekolah terdiri dari: semua pimpinan, pendidik, dan tenaga kependidikan yang mempunyai uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang jelas tentang keseluruhan perencanaan program mencakup perumusan visi, misi, tujuan sekolah dan rencana kerja sekolah. Visi sekolah adalah cita-cita bersama warga sekolah dan segenap pihak yang berkepentingan, yang menggambarkan dan memberikan inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk kepentingan masa mendatang, peyelenggaraan dan administrasi sekolah.
3.     Pengawasan
Penyusunan program pengawasan disekolah didasarkan pada Standar Nasional Pendidikan  dan program pengawasan disosialisasikan ke seluruh pendidik dan tenaga kependidikan. Setiap pihak yang menerima laporan hasil pengawasan menindak lanjuti laporan hasil pengawasan tersebut dalam rangka peningkatan mutu, termasuk memberikan sanksi atas penyimpangan yang ditemukan, supervisi, evaluasi, dan pelaporan serta catatan tindak lanjut kinerja, dalam pengelolaan secara keseluruhan.
Pengawasan mengandung arti suatu kegiatan untuk melakukan pengamatan agar pekerjaan dilakukan sesuai dengan ketentuan. Pemeriksaan dimaksudkan untuk melihat bagaimana kegiatan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan. Inspeksi dimaksudkan untuk mengetahui kekurangan atau kesalahan yang perlu diperbaiki dalam suatu pekerjaan, supervisi secara etimologi berasal dari kata “super” dan “visi” yang mengandung arti melihat dan meninjau dari atas yang dilakukan oleh pihak atasan terhadap aktivitas, kreativitas, dan kinerja bawahan.[30]
Memahami pendapat diatas, sebenarnya istilah tersebut identik dengan supervisi sehingga kata pengawas dan supervisi sering diartikan sama dalam penggunaannya. Mulyasa mengungkapkan bahwa supervisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses administrasi pendidikan yang ditujukan terutama untuk untuk mengembangkan efektivitas kinerja personalia sekolah yang berhubungan degan tugas-tugas utama pendidikan.[31]
Menurut Muhaimin sebagaimana dikutip M. Sobry Sutikno kegiatan pengawasan berkaitan juga dengan manajemen pendidikan  yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan.[32] Pendapat yang sama dikemukakan oleh Bush & Coleman sebagaimana dikutip Husaini Usman manajemen pendidikan sebagai berikut: “Educational management is a field of study and practice concerned with the operation of educational organization”.[33] Menurut Usman“manajemen pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien”.[34]
Sejalan dengan itu Menurut Stufflebeam yang dikutip Sarbini dan Neneng Lina evaluasi terdapat dalam proses manajemen, evaluasi merupakan the process of delineating, obtainging, and providing useful information for judging decision alternatives, artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternative keputusan. Sejalan dengan itu Anne Anatasi mengartikan evaluasi sebagai  a system process of determining the extent to which instructional objective are achieved by pupils.[35]Evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan incidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematis, terarah, dan berdasarkan tujuan yang jelas”.[36]
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan.
Sekolah harus objektif, bertanggung jawab dan berkelanjutan dalam melakukan pengawasan. Pengawasan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan tindak lanjut hasil pengawasan. Pemantauan dilakukan oleh komite sekolah, sedangkan supervisi dilakukan secara teratur dilakukan oleh kepala sekolah, guru melaporkan hasil evaluasi dan penilaian sekurang-kurangnya kepada kepala sekolah, adapun jenis-jenis evaluasi sebagi berikut:
a.    Evaluasi diri adalah evaluasi yang dilakukan pihak sekolah untuk menilai kinerja sekolah itu sendiri. Pihak sekolah menetapkan prioritas indikator untuk mengukur, menilai kinerja dan melakukan perbaikan dalam rangka pelaksanaan standar nasional pendidikan ecaluasi di atau evaluasi sekolah dilakuakn secara periodik berdasarkan pada data dan informasi yang sahih.
b.    Evaluasi dan pengembangan KTSP dalah proses yang dilakukan secara komprehensif dan flexible agar bisa menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir dan bersifat menyeluruh yang rtinya melibatkan semua pihak.
c.    Evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga pendidik meliputi kesesuaian penugasan dengan keahlian, keseimbangan beban kerja dan kinerja pendidik dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi harus memperhatikan pencapaian prestasi dan perubahan peserta didik.[37]

Pelaksanaan evaluasi ini kepala sekolah harus mengikut sertakan setiap unsur yang terlibat dalam program kegiatan sekolah, khususnya guru dan tenaga lainnya agar mereka dapat menjiwai setiap penilaian yang dilakukan dan memeberikan alternatif pemecahan masalah pengelolaan, dengan demikian orang tua peserta didik dan masyarakat sebagai pihak eksternal harus dilibatkan untuk menilai keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Keikut sertaan pihak luar dalam evaluasi ini, membuat sekolah jadi mengetahui bagaimana sudut pandang pihak luar dibandingkan hasil penilaian internal.  Nantinya hasil dari evaluasi yang dilakukan sebelumnya berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan masukan bagi sekolah dan orang tua peserta didik untuk memperbaiki Standar Pengelolaan Pendidikan.
Pendapat diatas evaluasi pendidikan dapat memberikan manfaat bagi siswa, pengajar dan manajemen, dengan adanya evaluasi, peserta didik akan mengetahui keberhasilan yang dicapai setelah mengikuti proses pendidikan, saat siswa mendapatkan nilai yang sesuai akan memberikan motivasi untuk meningkatkan motivasinya jika hasilnya tidak tercapai maka siswa berusaha memperbaiki kegiatan belajarnya, dan disinilah sangat diperlukannya stimulus oleh para guru agar siswa tidak putus asa, hasil evaluasi di satuan pendidikan sebagai umpan balik dalam menetapkan upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
 Menurut Tilaar kelulusan seseorang dari sistem pendidikan bukanlah ditentukan semata-mata oleh Ujian Nasional yang biasanya yang terpusat dan anonim, tetapi merupakan suatu proses yang integrative di dalam pendidikan yang mempunyai banyak segi, Lihat saja pada oppornity to learn yang terus menerus diperbaiki hasil analisa dari evaluasi pendidikan.[38]
4.     Kepemimpinan Kepala Sekolah
Setiap sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah. Kriteria untuk menjadi kepala dan wakil kepala sekolah berdasarkan ketentuan dalam standar pendidik dan tenaga kependidikan. Kepala sekolah dalam satuan pendidikan merupakan pemimpin. Ia mempunyai dua jabatan dan peran penting dalam melaksanakan proses pendidikan pertama kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah, dan kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal disekolahnya.
Menurut Robert G.Owenns yang dikutip Wahyudi “Leadership involves intentionally exercising influence on the behavior of others people. Hal senada dikemukakan oleh Billick, B dan Peterson “Leadership can be defined as the ability to influence the behavior and actions of others to achieve an intened purpose,[39] menurut Goetsch & Stanley B. Davis “Leadership is the ability to inspire people to make a total, willing, and voluntary commitmen to accomplishing or exceeding organizational goals”.[40] Dengan demikian kepemimpinan diatikan sebagai kemampuan seseorang dalam menggerakan, mengarahkan, sekaligus mempengaruhi pola pikir, cara kerja setiap anggota agar bersikap mandiri dalam bekerja terutama dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan percepatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi yang sangat berpengaruh dan menentukan kemajuan sekolah harus memiliki kemampuan administrasi, memiliki komitmen tinggi, dan luwes dalam melaksanakan tugasnya. Kepala sekolah juga harus melakukan peningkatan profesionalisme sesuai gaya kepemimpinanya, berangkat dari kemauan dan ketersedian, bersifat memprakarsai dan didasari pertimbangan yang matang, lebih berorientasi kepada bawahan, demokrasi, lebih terfokus pada hubungan daripada tugas, serta mempertimbangkan kematangan bawahan.[41]

 Menurut Saroni “dalam sebuah organisasi, seorang pemimpin merupakan sentral dari kegiatan yang diprogramkan. Pemimpin merupakan decision maker dan juga teladan bagi anak buahnya”.[42] Keberhasilan suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan seorang kepala sekolah.[43] Sejalan dengan itu Robbins menyatakan “leadership as the ability to influence a group toward the achievement of goals”.[44]

Pendapat Maxwell sebagaimana dikutip Muhaimin mengungkapkan lima tahapan kepemimpinan yang meliputi level 1 Pemimpin yang bersifat legalitas yaitu karena suatu keputusan, level 2 pemimpin yang memimpin dengan kecintaan, level 3 pemimpin yang lebih berorientasi kepada hasil, dinyatakan dengan berorintasikan hasil, pemimpin level 4 menumbuhkan pribadi dalam memimpin, pada level 5 pemimpin yang memiliki daya tarik yang luar biasa. Pada level ini orang-orang ingin mengikutinya bukan karena apa yang telah diberikan pemimpin secara personal atau manfaatnay, tetapi juga karena nilai-nilai dan symbol-simbol yang melekat pada orang tersebut, sehingga kepemimpinan sekolah mampu bergerak dari pemimpin level 1 menuju pimpinan level 5 dibutuhkan empat unsure yaitu: Visi (Vision). Keberanian (couragenes), Realita(reality), dan etika (ethics).[45]

Kepemimpinan pendidikan berperan sangat penting dalam rangka mengarahkan dan menggerakan organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepemimpinan pendidikan segenap kegiatan dalam usaha mempengaruhi personal di lingkungan pendidikan pada situasi tertentu agar mereka melalui usaha kerjasama, mau bekerja dengan penuh tanggung jawab dan ikhlas demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Dapat disimpulkan bahwa kepemimpin sekolah di dalam Permendiknas No 19 Tahun 2007 setiap pemimpin sekolah harus memiliki visi yang memiliki pemikiran yang terbuka, keberanian untuk mencintai pekerjaanya menimbulkan kesukarelaan dan berkorban sehingga mampu mencari terobosan baru untuk memajukan lembaga pendidikannya, pemimpin mampu membedakan mana opini dan fakta jika sekolah belum memiliki sumber daya yang cukup maka kepala sekolah harus mampu menggunakan fasilitas yang ada dan ia harus mampu memenuhi sumber daya yang dibutuhkan sehingga dalam pelaksanaan program kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien.
Kepemimpinana sekolah sering disebut dengan kepala sekolah adalah sosok yang diberi kepercayaan dan kewenangan oleh banyak orang (anak buah) untuk membawa sekolah kearah tujuan yang ingin dicapai. Kepercayaan yang diberikan oleh anak buah ini adalah didasarkan pada beberapa aspek yang dimiliki oleh kepala sekolah dan diharapkan dapat menjadi modal untuk membawa pada keberhasilan bersama. Kepala sekolah itu dianggap mempunyai kelebihan yang dimiliki oleh semua anak buah, entah dalam satu hal atau beberapa hal sekaligus.[46]
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang diorganisir menuju kepada penentuan dan pencapaian tujuan, kepemimpinan merupakan motor atau daya penggerak daripada semua sumber-sumber dan alat yang tersedia bagi suatu organisasi. Dalam pengelolaan pendidikan didasarkan kepada rencana kerja tahunan yang dibuat pada awal tahun pelajaran. Rencana kerja tersebut merupakan hasil musyawarah berbagai komponen, guru, karyawan serta komite sekolah. Terdapat komponen perencanaan dimana ada dua hal penting di dalamnya, yaitu menyangkut delegasi wewenang dan penjabaran visi-misi. Kepada guru sekolah untuk menjalankan tugas dengan baik. Informasi juga sangat diperlukan guna membagun dan menjalin komunikasi sebagai alumni implementasi sebuah kebijakan tidak begitu saja mudah untuk dilaksanakan. Perlu diperhatikan berbagai hal apakah kebijakan tersebut mudah atau tidak dilaksanakan. Permendiknas No. 19 tahun 2007 tentang Standar pengelolaan sekolah dalam pelaksanaanya juga mengalami permasalahan tersebut.
Dengan demikian secara teknis seperti waktu, peralatan dan sarana dan prasarana dapat menyebabkan kesulitan dalam implementasi standar pengelolaan sekolah. Misalnya pembuatan rencana kerja yang sudah terpenuhi. Bagi para guru dan kepala sekolah tidak mudah memahami mengapa perlu adanya standar nasional mengenai pengelolaan sekolah. Meski semua paham. Bahwa sekolah harus meningkatkan mutu dan menjaganya tetapi untuk memahami perlu standar pengelolaan tidak begitu saja diterima. Untuk memahaminya membutuhkan proses agar secara perlahan mereka bisa memahami tujuan yang hendak dicapai dengan standarisasi pengelollaan tersebut. Aturan di dalam Permendiknas tidak begitu saja mudah diterapkan di lapangan. Tetap dibutuhkan format baku yang mudah untuk diikuti. Misalnya ada format tentang perencanaan, format evaluasi dan sebagainya sehingga kepala sekolah dengan mudah memasukkan datanya.
Kepala sekolah dan stafnya belum terbiasa dengan manajemen pengelolaan yang membutuhkan begitu banyak dokumen dan tindakan. Misalnya pembuatan KTSP yang termasuk ke dalam perencanaan, tidak semua guru mampu menjalankannya dengan baik. Sumber daya yang dimiliki untuk mendukung keberhasilan tersebut haruslah ada hal yang mendukungnya, sehingga tidak terjadi menjiplakan atau melihat dari sekolah lain. Apa yang dibuat seharusnya mampu dilaksanakan karena itu kita yang merencanakannya, ini semua dibutuhkan sumber daya yang tepat kunci utama utama dalam implementasi. Standar pengelolaan tidak mutlak menjadi beban kepala sekolah, tetapi juga melibatkan peran komite sekolah maupun dinas.
E.   Penelitian Terdahulu
Tim Peneliti SMA Negri 22 Surabaya dengan judul penelitian Implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan di SMA Negri 22 Surabaya dapat diambil kesimpulan bahwa peningkatan mutu pendidikan melalui pencapaian standar pendidikan terutama Standar Pengelolaan Pendidikan yang ada terutama diprioritaskan pada aspek ketersedian sarana dan prasarana penunjang mutu pendidikan, ketersediaan pendidik (guru) dengan tugasnya, optimalisasi perolehan rata-rata nilai UN, peningkatan penguasaan dan penerapan kurikulum KTSP di sekolah, peningkatan peran Dewan Pendidikan dan dunia usaha dan industri, kesiapan manajemen pengelolaan pendidikan yang handal dan tepat, baik yang terkait dengan kapasitas sumber daya manusia sebagai pengelola pendidikan dan guru dilingkup Dinas Pendidikan maupun komitmen dari setiap pengelola untuk fokus dalam pembangunan pendidikan.
Standar pengelolaan sekolah tidak mutlak menjadi beban kepala sekolah, tetapi juga melibatkan peran komite sekolah maupun dinas. Pengawas misalnya, perannya masih terkesan rutinitas dan kurang memberi masukan kepada kepala, sekolah dalam implementasi kebijakan tersebut. meminimalkan masalah-masalah internal guna memperoleh peluang yang ada sehingga dapat meningkatkan mutu pendidikan menengah melalui implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan secara optimal. internal dan memanfaatkan peluang dengan berbagai strategi.










F.    Kerangka Berfikir
Input
1.    Standar Pengelolaan Pendidikan (Pemendiknas No. 19 Tahun 2007
2.    Profil Satuan Pendidikan

 
Proses
Layak
 
Melakukan reviu dan revisi draf hasil analisis standar pengelolaan

 
§  Sekolah melakukan analisis standar pengelolaan
§  Memberi arahan teknis tentang analisis standar pengelolaan

 









 













Output
Terlaksananya standar pengelolaan pendidikan No. 19 Tahun 2007 pada satuan pendidikan
 

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.     Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru melalui Implementasi Permendiknas No 19 Tahun 2007 sesuai mutu dan target sekolah dari tahun 2010-2013.
1.    Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan dalam pelaksanaanya di SMK Hasanah kota Pekanbaru.
2.    Mengetahui perencanaan dan pelaksanaan kegiatan kurikulum dan akademik di SMK Hasanah Kota Pekanbaru  dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan.
3.    Mengetahui pelaksanaan kinerja pengawas dan kinerja sekolah dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan.
4.    Pengawasan dan evaluasi dalam mencapai Standar Pengelolaan Pendidikan.
B.    Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMK Hasanah Kota Pekanbaru beralokasi Jl Cempedak No. 37 Marpoyan Damai (Pekanbaru-Riau). Adapun alasan penulis memilih lokasi, karena di SMK Hasanah Kota Pekanbaru menerapkan Standar Pengelolaan Pendidikan sehingga sekolah dapat mencapai tujuan pendidikan sekolah yang memiliki siswa-siswa yang berprestasi secara akademik dan non akademik ditandai dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang baik dalam mengelola sekolah, dan lokasi penelitian tidak jauh dari lokasi penulis, sehingga dapat mempermudah penulis untuk meneliti disana. Penelitian dilaksanakan pada dua tahap yaitu tahap pertama pada bulan Januari 2013, penelitian melakukan observasi awal sebagai persiapan penulisan proposal, dan tahap kedua pada bulan Juli sampai dengan  September 2013.














            Jadwal penelitian Tahun 2012/2013
No
Kegiatan tempat dan waktu penelitian
Bulan ke
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1
Pengajuan  judul













2
Penyusunan propsal













3
Seminar proposal













4
Perbaikan hasil seminar proposal













5
Perbaikan persiapan kelapangan













6
Pengurusan administrasi kelapangan













7
Tahap 1
Pengumpulan  data, analisisdata, verifikasi dan intreprestasi data













8
Tahap 2
Membuatdraf laporan dankonsultasi dengan pembimbing













9
Penyempurnaan laporan













10
Seminar tesis













11
Perbaikanseminar hasil tesis













12
Ujian tesis













13
Perbaikan hasil ujian tesis














C.    Latar Penelitian
SMK Hasanah Kota Pekanbaru terletak dikawasan strategis untuk pendidikan. Suasana di lingkungan sekitar tampak bersih, aman, tenagng, dan dekat dengan jalan besar. Bangunan sekolah diatur sedemikian rupa sehingga menyedikan lapangan bermain yang luas untuk siswa. Tersedia ruangan kelas, ruang laboratorium, ruang OSIS, ruang kesiswaan, ruang perpustakaan, ruang UKS, ruang kantor TU, ruang majelis guru yang memadai, namun sanitasi sekitar WC kurang terjaga dengan baik. Papan visi, misi, mission statement, dan papan slogan tergantung rapi di dingding korodor akses masuk yang lain ditempeli kata-kata mutiara dan printingan bebas rokok dan bebas sampah.
Semua ruangan dihiasi dengan tempelan hasil karya siswa, tata tertib, dan kata-kata mutiara. Fasilitas umum tersedia walaupun belum memadai, seperti kantin, lapangan olah raga, dan tempat bagi iswa untuk relaksasi.
Suasana aktivitas di SMK Hasanah Kota Pekanbaru tidak jauh beda dengan sekolah kebanyakan. Bel berbunyi tepat waktu, namun saat bel pagi terlihat masih ada siswa yang belum bergegas untuk mengikuti upacara pagi pada hari senin, demikian juga beberapa tenaga pendidik dan tenaga kependidikan masih ada yang duduk dikantor.
Proses pengajaran dan pembelajran berjalan dengan tertib. Semua siswa mengikuti pembelajaran dengan penuh antusias. Tidak ada siswa yang nampak berkeliaran diluar kelas saat jam pelajaran dimulai. Tidak ada kelas yang tidak terlayanai oleh guru walaupun guru yang seharusnya masuk berhalangan akan digantikan oleh guru pengganti. Guru yang piket tetap berada di meja piket.
Hubungan kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan tenaga kependidikan, guru dengan siswa, dan guru dengan orang tua berjalan kurang hangat. Guru sibuk dengan tugasnya dan siswa pun asyik dengan kegiatannya.
D.    Metode dan Prosedur Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji mengenai implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan di SMK Hasanah kota Pekanbaru ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang yang prilakunya dapat dipahami.[47]
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian Kualitatif, yaitu metode Penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperime) dimana peneliti adalah sebagai instrumen purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi, penggunaan pendekatan dan metode ini disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai Implementasi Permendiknas No 19 Tahun 2007.
Penelitian kualitatif menunjukan pada diri atau karakteristik yang memberi makna secara utuh terhadap suatu gejala untuk memperoleh kebenaran. Mengacu kepada Strauss dan Corbin penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang prosedur penemuan dilakukan tidak menggunakan prosedur statistik atau kuantifikasi.[48]
     Secara garis besar, penelitian kualitatif memiliki beberapa ciri umum yang dapat dikenali, yaitu:
1.     Pengumpulan data dilakukan dalam latar alamiah atau wajar.
2.     Peneliti merupakan instrumen utama atau kunci dalam mengumpulkan dan menginterprestasikan data.
3.     Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil.
4.     Analisis data pada penelitian kualitatif digunakan secara induktif.
5.     Makna dibalik tingkah laku manusia merupakan hal esensial bagi penelitian kualitatif.
6.     Adanya kriteria khusus untuk keabsahan atau triangulasi.[49]
Adapun ciri-ciri penelitian kualitatif yang lain:
1.     Lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung.
2.     Manusia merupakan sumber alat utama pengumpul data.
3.     Analisis data dilakukan secara induktif
4.     Penelitian bersifat deksriftif analitik.
5.     Tekanan penelitian berada pada proses.
6.     Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkannya batas atas dasar fokus.
7.     Perencanaan atau desain penelitian bersifat ketat atau kaku, sehingga sulit untuk diubah.
8.     Hasilnya merupakan kesepakatan bersama antara si peneliti dengan subjek-subjek penelitian.
9.     Menekankan kepada kepercayaan terhadap apa adanya yang dilihat, sehingga bersifat netral.
10.  Penelitian kualitatif memandang bahwa keseluruhan sebagai suatu kesatuan lebih penting daripada sebagian-sebagiannya.[50]

Data deskriftif yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi:
1.    Catatan tentang profil organisasi dan dokumen terkait
2.    Hasil wawancara
3.    Dokumen lainnya berupa lembar kuesioner, hasil observasi, dan dokumen internal dan eksternal yang diperlukan.
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan tahapan:
1.   Persiapan
a.   Mengurus perizinan
b.  Observasi awal desain penelitian, merencanakan jadwal penelitian, dan menyusun instrument penelitian.
2.   Pengumpulan data
a.  Mengumpulkan data di lokasi dengan melaksanakan observasi, wawancara, dan analisis dokumen.
b.  Membuat deskripsi dan refleksi data.
c.   Menentukan strategi pengumpulan yang lebih fokus.
d.  Mereduksi data.
3.    Analisis data
a.   Melakukan analisis awal
b.   Menyajikan data dengan mengatur matrik untuk keperluan analisis.
c.   Melakukan analisis unit data untuk mengembangkan matrik   selanjutnya.
d.   Melakukan analisis antarunit untuk disatukan menjadi analisis akhir.
e.   Membuat kesimpulan.
f.    Melengkapi data jika ada yang belum lengkap.
g.   Melakukan diskusi dengan orang lain guna menghindari unsur subjek.
h.  Merumuskan implikasi kebijakan guna mengembangkan saran laporan penelitian.
4.    Penyusunan laporan penelitian
a.   Menyusunan laporan awal/sementara .
b.   Mereview laporan penelitian sementara.
c.   Memperbaiki laporan dan menyusun laporan akhir.
d.   Memperbanyak laporan. 

E.     Sumber Data
Dalam penulisan ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu:
a.    Data  Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan peneliti secara langsung melalui objek penelitian. Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari guru, kepala SMK Hasanah Kota Pekanbaru dan Siswa.
b.    Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen yang ada relevan  dengan masalah penelitia data pendukung ataui pelengkap yang diperoleh secara tidak langsung, dalam hal ini data diperoleh dari dokumen-dokumen, data-data, serta buku-buku referensi yang membahas masalah penelitian tersebut.


F.    Alat  Pengumpulan Data
Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber data yang akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan analisis dokumen, observasi dan wawancara. Untuk mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian diperlukan cara-cara atau teknik pengumpulan data tertentu, sehingga proses penelitian dapat berjalan lancar, mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen baik yang berada di sekolah ataupun yang berada diluar sekolah, yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi (pengamatan), wawancara (interview), dokumentasi dokumen. Teknik ini dipakai untuk menyimpulkan data dan fakta serta informasi yang saling melengkapi. Data primer dan data sekunder. Pertanyaan dalam wawancara dirumuskan untuk menjaring pendapat masing-masing pihak yang terlibat dalam pelaksanaan percepatan pencapaian Implementasi Standar Pengelolaan Pendidikan di SMK HASANAH Kota Pekanbaru.
G.   Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti bisa meneliti sesuatu masalah apabila kita memiliki akses terhadap informan dan situs penelitian serta memiliki waktu, sumber daya dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan penelitian tentang hal dimaksud. Untuk meneliti sesuatu masalah, sipeneliti memerlukan izin untuk memasuki suatu situs dan melibatkan orang- orang dilokasi peneliti, disamping itu kemampuan peneliti melakukan penelitiani juga ditentukan oleh ketersediaan waktu, sumber daya, dan keterampilan yang dipergunakan didalam penelitian. Pada Penelitian Kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, yang dapat berupa lembaga pendidikan tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang–orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut. Penentuan sumber data pada orang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Hasil penelitian  digeneralisasikan ke populasi karena, pengambilan sampel tidak diambil secara random. Hasil penelitian dengan metode kualitatif hanya berlaku untuk kasus situasi sosial tertentu. Hasil penelitian tersebut dapat ditransferkan atau diterapkan kesituasi sosial ( tempat lain ) lain, apabila situasi sosial lain tersebut memiliki kemiripan atau kesamaan dengan situasi sosial yang diteliti.
 Penelitian kualitatif pada awalnya dimana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri. Tetapi setelah masalahnya yang akan dipelajari jelas, maka dapat dikembangkan suatu instrumen. Dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara. Peneliti akan terjun ke lapangan sendiri, baik pada grand tour question, tahap focused and selection, melakukan pengumpulan data, analisis dan membuat kesimpulan.
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dengan mengurutkan data kedalam pola, kategorisasi, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan hipotesa kerja seperti yang disarankan data. Data yang telah diorganisasikan kedalam suatu pola dan membuat kategorinya, maka data diolah dengan menggunakan analisis data dan model Milles dan Hubberman, yaitu:
1.     Pengumpulan Data
Seorang peneliti kualitatif mulai mencari arti benda-benda mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi yang masih bersifat longgar dan terbuka belum jelas dan kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokok, kesimpulan belum final samapi pengumpulan data terakhir, tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan data terakhir, tergantung pada kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeaannya, penyimpanannya dan metode pencarian ulang yang digunakan, kecakapan peneliti dalam menarik kesimpulan.[51]
2.     Reduksi Data
Reduksi data bertujuan untuk memudahkan membuat kesimpulan data yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian. Reduksi data dimulai dengan mengidentifikasi semua catatan dan data lapangan yang memiliki makna yang berkaitan dengan fokus penelitian, data yang tidak memiliki keterkaitan dengan masalah penelitian harus disisihkan dari kumpulan data kemudian membuat kode pada setiap satuan supaya tetap dapat ditelusuri asalnya dan dapat membuat hipotesis (menjawab pertanyaan penelitian).
3.     Penyajian Data
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Data yang dianalisis dan disajikan dalam bentuk grafik, tabel, matriks, dan bagan guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk padu sehingga dapat dengan mudah peneliti mengetahui apa yang terjadi untuk menarik kesimpulan.
4.     Penarikan Kesimpulan
Penariakn kesimpulan, setelah data terkumpul, maka proses selanjutnya adalah penarikan kesimpulan verifikasi. Kesimpulan pada tahap pertama bersifat longgar, tetap terbuka dan belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar lebih koko. Kesimpulan final akan didapatkan seiring bertambanhya data sehingga kesimpulan menjadi suatu konfigurasi yang utuh.[52]

                             




                                         Gambar 3.67
Penyajian Data



 







Analisis Data Miles dan Huberman
H.   Teknik Penjaminan Keabsahan Data
Untuk memeriksa keabsahan data yang diperoleh dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi. Adapun yang dimaksud dengan Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.[53]


Untuk memperkuat keabsahan data hasil temuan dan untuk menjaga validitasi penelitian, maka peneliti menagacu pada empat standar validitasi penelitian, maka peneliti mengacu pada empat standar validitasi yang disarankan oleh Lincoln dan Gube, yang terdiri dari: 1. Kredibilitas (credibility), 2.Keteralihan (transferability),  3. Ketergantungan (dependability), 4. Ketegasan (confirmability).
1.    Kredibilitas (credibility)
Kredibilitas yaitu melakukan pengamatan sedemikian rupa dengan hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan pendidikan sehingga tingkat kepercayaan penemuan dapat tercapai. Selanjutnya peneliti mempertunjukan derajat kepercayaan. Hasil penelitian dengan penemuan dengan melakukan pembuktian pada kenyataan yang sedang diteliti. Hal ini dapat dilakukan denagn ketekunan pengamatan dan pemeriksaan denagn sejawat melalui diskusi.



2.    Keteralihan (transferability)
Generalisasi dalam penelitian kualitatif tidak mempersyaratkan asumsi-asumsi seperti rata-rata populasi dan rata-rata sampel atau asumsi kurva norma. Transferabilitas memperhatikan kecocokan arti fungsi unsur-unsur yang terkandung dalam fenomena studi dan fenomena lain diluar ruang lingkup studi. Cara yang di tempuh untuk menjamin keteralihan ini adalah dengan melakukan uraian rinci dari data teori, atau dari kasus lain, sehinga pembaca dapat menerapkannya dalam konteks yang hampir sama.
3.    Ketergantungan (dependability)
Dalam penelitian ini dependabilitas dibangun sejak dari pengumpulan data dan analisis data lapangan serta saat penyajian data laporan penelitian. Dalam pengembangan desain keabsahan data dibangun mulai dari pemilihan kasus dan fokus, melakukan orentasi lapangan dan pengembangan konseptual. Menurut Lincoln dan Guba, Keabsahan data ini dibangun dengan teknik: 1. Memeriksa bias-bias yang datang dari peneliti ataupun datang dari objek penelitian, 2. Menganalisis dengan memperhatikan kasus negativ, 3. Mengkonfirmasikan setiap simpulan dari satu tahapan kepada subjek penelitian.[54]
4.    Ketegasan (confirmability)
Ketegasan (confirmability) akan lebih mudah diperoleh apabila dilengkapi dengan pelaksanaan keseluruhan proses  dan hasil penelitian, karena penelitian melakukan penelusuran audit, yakni dengan mengklarifikasikan data-data yang sudah diperoleh kemudian mempelajari lalu peneliti menuliskan laporan hasil penelitian.












[1] PP No 19 Tahun 2005 Pasal 2 dan 3
[2] Mulyasa, Implementasi KTSP Kemandirian Guru dan KepalaSekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 178
[3] Ibid, h. 178
[4] Ibid, h. 179
[5] Wayne Parsons, Publik Policy: Pengatar Teori & Praktik Analisis Kebijakan (Jakarta: Gramedia, 2001) , h. 472
[6] Budi Winarno. Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), hal. 4
[7] Nugroho, R. Public Policy. (Jakarta : Elex Media Komputindo,  2008), hal.456
[8] Parsons, T. Teori fungsional dan Implementasi Kebijakan Publik. (Jakarta: PT. Gramedia , 2003, ), hal. 5
[9]Charles Hoy, Educational Administration: Theory, Research, and Practice, (sixth Edition). New York: McGraw Hill. 2000. h. 10


[10] Wayne Parsons, Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan Publik Policy, h. 472
[11] Kertya Witaradya, Implementasi Kebijakan Publik, blogspot.com 26 Januari, h.2
[12] Repository. Ung. Ac.id/faktor-faktor-faktor yang menpengaruhi kebijakan implementasi
[13] H,A,R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006)
 h. 109
[14] Ara Hidayat & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), h. 148
[15] Undang-Undang R.I. Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan, Bab 1, h. 197
[16] Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003
[17] http:rienysusilowati.blogspot.com/2012/12standar-pengelolaan-pendidikan.html
[18] Peraturan Pemerintah Nomor 32  Tahun 2013
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ara Hidayat & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), h. 150-151
[22] Ibid
[23] Ara Hidayat & Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), h. 150-151
[24] UndangUndang SISDIKNAS No 20 Tahun 2003
[25] Ibid
[26]  Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
[27] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003
[28] John M.Bryson, Perencanaan Strategis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),  h. 239
[29] PP No 19 Tahun 2005
[30] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah  Konsep Strategi dan Implementasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 154
[31] Ibid, h. 155
[32] M. Sobry Sutikno, Manajemen Pendidikan Langkah Praktis Mewujudkan Lembaga Pendidikan Yang Unggul (Lombok: Holistica, 2012), h. 5
[33] Husaini Usman, Manajemen Teori, praktik, dan riset pendidikan (Yogyakarta: PT Bumi Akasara, 2010), h. 12.
[34] Husaini Usman, Manajemen Teori, praktik, dan riset pendidikan (Yogyakarta: PT Bumi Akasara, 2010), h. 2
[35] Ibid, h. 155
[36] Sarbini & Neneng Lina, Perencanaan Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 234
[37]Permendiknas No 19 Tahun 2007
[38] H,A,R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 109

[39] Wahyudi, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar Learning Organization (Pontianak: Alfabeta, 2012), h. 120
[40] David L. Goetsch & Stanley B. Davis, Quality Management Introduction to Total Quality  Management for Production, Processing, and Services . Prentice hall,h.241
[41] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 78
[42] Muhammad Saroni, Manajemen Sekolah Kiat Menjadi Pendidik yang Kompoten (Jogjakarta: A-Ruzz, 2006), h. 15
[43] Wahjosumidjo,  Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 349.
[44] Robbins, SP. Organizational Behavior,9th ed.. Uper Saddle River, New Jersey,07458: Prentice-Hall Inc. h. 365
[45]  Muhaimin dkk, Manajmen Pendidikan Alikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (Malang: Prenada Media Group ,2009), h. 31
[46] Muhammad Saroni,  Manajemen Sekolah Kiat Menjadi Pendidik yang Kompeten (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2006),h. 37
[47] S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta, Rineka Cipta, 1997), h. 36.
[48] Syahrum dan Salim, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung (Ciptapustaka Media, 2007), h. 41.
[49] Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar Dan Aplikasi, (Malang, Yayasan Asih   Asuh, 1990), h. 20.
[50]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta:Rine Cipta, 2006, h. 15-17
[51]Syahrum dan Salim, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung (Ciptapustaka Media, 2007), h. 150-151
[52] Ibid
[53] Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, h, 179
[54] Ibid, h. 169