Jumat, 19 Desember 2014

Pendidikan Islam

PENDAHULUAN
Setiap kegiatan atau aktivitas yang disengaja secara sadar untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai dasar atau landasan tempat berpijak yang kokoh dan kuat. Dasar adalah pangkal atau titik tolak suatu aktivitas. Di dalam menetapkan dasar suatu aktivitas manusia selalu berpedoman kepada pandangan hidup dan hukum-hukum dasar yang dianutnya, karena hal ini yang akan menjadi pegangan dasar di dalam kehidupannya. Apabila pandangan hidup dan hukum dasar yang dianut manusia berbeda, maka berbeda pulalah dasar dan tujuan hidupnya.[1]
Dasar adalah merupakan landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar sesuatu tersebut tegak kokoh berdiri. dasar suatu bangunan yaitu fondamen yang menjadi landasan bangunan tersebut agar bangunan itu tegak dan kokoh berdiri. demikian juga dasar pendidikan islam yaitu fondamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan islam dapat tegak berdiri tidak mudah roboh karena tiupan angin kencang berupa ideologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang. dengan adanya dasar ini maka pendidikan islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan ataupun mempengaruhinya.[2]
Dalam makalah ini Pemakalah akan menjelaskan tentang Dasar-Dasar Pendidikan Islam yang spesifiknya penjelasan ini akan mengarah pada Dasar Ideal Pendidikan Islam atau bisa disebut Dasar Pokok Pendidikan Islam, sedangkan dasar operasionlnya aka dijelaskan oleh Pemakalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua amin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Dasar Pendidikan Islam
Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.[3] Di dalam setiap negara pasti mempunyai dasar pendidikan sendiri. Sebab ia merupakan pencerminan falsafah hidup suatu bangsa. Yang kemudian, suatu negara dalam menyusun pendidikan bangsanya berdasarkan kepada dasar tersebut. Dan oleh karena itu maka sistem pedidikan setiap bangsa itu pasti berbeda yang disebabkan karena mereka memiliki falsafah hidup yang berbeda.
Dasar pendidikan di malaysia misalnya, diasaskan kepada prinsip-prinsip rukon negara, karena rukon negara adalah merupakan falsafah hidup bangsa malaysia. Begitu pula dasar pendidikan di indonesia didasarkan kepada falsafah hidup bangsa indonesia yaitu pancasila.[4]
Dasar pendidikan islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sistem pendidikan islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.[5]
B.     Dasar Ideal Pendidikan Islam
Yang dimaksud dasar ideal pendidikan islam di sini adalah dasar pokok pendidikan islam. Dasar pokok dari pendidikan islam ada dua; yaitu:
1.      Al-Qur’an
Abdul Wahab Khallaf seperti yang dikutif Ramayulis mendefinisikan Al-Quran adalah “kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada hati Rasulullah anak abdullah dengan lafaz bahasa arab dan makna hakiki untuk menjadi hujjah bagi Rasullah atas kerasulannya dan menjadi pedoman bagi manusia dengan penunjuknya serta beribadah membacanya”.[6]
Umat islam sebagai suatu umat yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab suci Al-Quran, yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal, sudah barang tentu dasar pendidikan mereka adalah bersumber kepada falsafah hidup yang berdasarkan kepada Al-Quran.[7]
Pada masa awal pertumbuhan islam, Nabi Muhammada Saw adalah sebagai pendidik pertama, telah menjadikan Al-Quran sebagai dasar pendidikan islam di samping Sunnah beliau sendiri.
Kedudukan, Al-Quran sebagai sumber pokok pendidikan islam dapat dipahami dari ayat Al-Quran itu sendiri.
Firman Allah dalam surat al-nahl:
Artinya: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Q.S. Al-Nahl : 64)[8]
Selanjutnya Firman Allah Swt. dalam surat Shad:
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. (Q.S. Shaad : 29)[9]
Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad Fadhil Al-Jamali seperti yang dikutip oleh Ramayulis menyatakan, bahwa “pada hakikatnya Al-Quran itu merupakan perbendarahan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. ia pada umumnya merupakan kitab  pendidikan kemasyarakatan, moril (akhlak) dan spiritual (kerohanian).[10]
2.      Sunnah
Sunnah dapat dijadikan dasar pendidikan islam karena sunnah hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran Al-QurĂ¢n itu sendiri, disamping memang sunnah merupakan sumber utama pendidikan islam karena karena Allah Swt menjadikan Muhammad Saw sebagai teladan bagi umatnya.[11] Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya dalam surat Al-Ahzab sebagai berikut:

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S.Al-Ahzab : 21)[12]
Nabi mengajarkan dan mempraktekkan sikap dan amal baik kepada istri dan sahabatnya, dan seterusnya mereka mempraktekkan pula seperti yang dipraktekkan Nabi dan mengajarkan pula kepada  orang lain.
Adapun konsepsi dasar pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw sebagai berikut:[13]
a.       Disampaikan sebagai rahmatan li al-alamin. seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107 sebagai berikut:
 
Artinya: “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
b.      Disampaikan secara Universal
c.       Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak. seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Hajr ayat : 9. sebagai berikut:
 
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
d.      Kehadiran, Nabi sebagai evaluator atas segala aktivitas pendidikan. seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Syura ayat : 48 sebagai berikut
Artinya: “Jika mereka berpaling Maka Kami tidak mengutus kamu sebagai Pengawas bagi mereka. kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami Dia bergembira ria karena rahmat itu. dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena Sesungguhnya manusia itu Amat ingkar (kepada nikmat).”
e.       Perilaku Nabi sebagai figur identifikasi (uswah hasanah) bagi umatnya. seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:  
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Menurut Ramayulis adanya dasar yang kokoh ini terutama Al-Quran dan Sunnah, karena keabsahan dasar ini sebagai pedoman hidup sudah mendapat jaminan Allah Swt dan Rasul-Nya.[14]
Firman Allah Swt :
  
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 2).
Sabda Rasulullah Saw:
Artinya:
 “Kutinggalkan kepadamu dua perkara (pusaka) tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah Rasulullah”. (H.R. Bukhari Muslim)
Lebih lanjut Ramayulis menjelaskan, bahwa prinsip menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar pendidikan islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran keyakinan semata. lebih jauh kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan bukti sejarah. Dengan demikian menurut dia, barangkali wajar jika kebenaran itu kita kembalikan kepada pembuktian kebenaran pernyataan Allah Swt dalam Al-Quran.
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 2).
Adapun kebenaran yang dikemukakan-Nya mengandung kebenaran yang hakiki, bukan kebenaran spekulatif dan relatif. Hal ini sesuai  firman-Nya yang menjamin terhadap kebenaran tersebut. sebagai berikut:
Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.(Q.S. Al-Hajr : 9)
C.     Dasar Tambahan
1.      Perkataan, Perbuatan dan Sikap para Sahabat
Perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat juga dapat dijadikan dasar dari pendidikan islam selain Al-Quran dan Sunnah. perkataan mereka dapat dijadikan pegagang karena Allah sendiri yang memberikan pernyataan di dalam Al-Quran.
Firman Allah Swt.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. al-Taubah : 100).
Firman Allah Swt.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang benar.” (Q.S. al-Taubah : 119)
Yang dimaksud dengan orang yang benar dalam ayat di atas adalah  para sahabat Nabi Saw.
Ramayulis dalam buku ilmu pendidikan islam menjelaskan, bahwa para sejarawan mencatat perkataan sikap sahabat-sahabat Nabi Saw. Yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan dalam islam di antaranya adalah :
a.       Setelah Abu Bakar dibai’at menjadi kholifah ia mengucapkan pidato sebagai beriku:
“Hai manusia, saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukan orang terbaik di antara  kamu. Jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tetapi jika aku berbuat salah, betulkanlah aku, orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah sehingga aku dapat mengambil hak dari padanya, sedangkan orang yang kamu pandang lemah aku pandang kuat sehingga aku dapat mengambilkan haknya. Hendaklah kamu tat kepadaku selama aku taat kepada allah dan rasul-Nya, tetapi jika aku tidak mentaati allah dan rasul-nya, kamu tak perlu mentaatiku.
            Lebih lanjut Ramayulis menjelaskan, bahwa menurut pandangan Nazmi Luqa, ungkapan Abu Bakar ini mengandung arti bahwa manusia harus mempunyai prinsip yang sama di depan khaliknya. selama baik dan lurus ia harus diikuti, tetapi sebaliknya (kalau ia tidak baik dan lurus) manusia harus bertanggung jawab membetulkannya.
b.      Umar bin Khattab terkenal dengan  sikapnya yang jujur, adil, cakap, berjiwa demokrasi yang dapat dijadikan panutan masyarakat. Sifat-sifat Umar ini disaksikan dan dirasakan sendiri oleh masyarakat pada waktu itu sifat-sifat seperti ini sangat perlu dimiliki oleh seorang pendidik, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pedagogis dan teladan yang baik yang harus ditiru.
c.       Usaha-usaha para Sahabat dalam pendidikan islam sangat menentukan bagi perkembangan pendidikan islam sampai sekarang, di antaranya :
1)      Abu Bakar melakukan kodifikasi al-quran;
2)      Umar bin Khatab sebagai bapak reaktuator terhadap ajaran islam yang dapat dijadikan prinsip stratege pendidikan;
3)      Usman bin Affan sebagai bapak pemersatu sistematika penulisan ilmiah melalui upaya mempersatukan sistematika penulisan al-quran;
4)      Ali bin Abi Thalib sebagai perumus konsep-konsep pendidikan.
2.      Ijtihad
Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir pula masa pemerintahan al-Khulafah al-Rasyidun dan digantikan oleh khalifah bani Umaiyah. Pada masa ini islam telah meluas sampai ke Afrika Utara, bahkan ke spanyol. Perluasan daerah kekuasaan ini diikuti oleh ulama dan guru atau pendidik. Akibatnya terjadi pula perluasan pusat-pusat pendidikan yang tersebar di kota-kota besar seperti:
a.       Makkah dan Madinah (Hijaz);
b.      Basrah dan Kuffah (Iran);
c.       Damsyik dan Palestina;
d.      Fustat (Mesir)
Menurut Ramayulis, dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan di atas, berarti telah terjadi perkembangan baru dalam masalah pendidikan; sebagai akibat interaksi nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan nilai-nilai islam. Ini berarti perlunya pemikiran yang mendalam tentang cara mengatasi permasalahannya yang timbul. Pemikiran yang seperti itu disebut “ijtihad”.
Imam mujtahid seperti Al-Auza’i, Abu Hanifah, dan Imam Malik yang telah ada pada masa itu, merasa butuh untuk memecahkan permasalahan yang timbul sebagai akibat interaksi-interaksi niali-nilai budaya dan adat istiadat yang berbeda tersebut dengan menggunakan ijtihad. Dengan demikian ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan, karena sesuai dengan hikmah islam.
Karena Al-Quran dan Hadits banyak mengandung arti umum, maka para ahli hukum dalm islam menggunakan “ijtihad” untuk menetapkan hukum tersebut. ijtihad ini terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi Saw. berkembangnya islam keluar jazirah Arab, karena situasi dan kondisinya banyak berbeda dengan di tanah Arab.
Ramayulis menyatakan, bahwa penggunaan ijtihad dapat dilaksanakan dalam seluruh aspek ajaran islam, termasuk juga aspek pendidikan. Ijtihada di bidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran islam yang terdapat dalam Al-Quran dan Al-Sunnah, hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja. Bila ternyata ada yang agak terinci, maka rincian itu merupakan contoh Islam dalam menerapkan prinsip pokok tersebut. Sejak turunnya ajaran islam kepada Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang. Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang. Melalui ijtihad yang dituntut agar perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula, dapat disesuaikan dengan ajaran Islam.
Dengan demikian untuk melengkapi dan lebih mempermudah terealisasinya ajaran islam itu sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari Al-Quran dan Hadits saja belum menjamin tujuan pendidikan islam akan tercapai.
Usaha ijtihad para ahli dalam merumuskan teori pendidikan islam dipandang sebagai hal yang sangat penting bagi pengembangan teori pendidikan pada masa yang akan datang, sehingga pendidikan islam tidak melegitimasi status quo serta tidak terjebak dengan ide justifikasi terhadap khazanah pemikiran para Orientalis dan Sekularis. Allah sangat menghargai atau pengapresiasi kesungguhan para Mujtahid dalam berijtihad.
Nabi Muhammad Saw. bersabda yang artinya:
“Apabila hakim telah menetapkan hukum, kemudian dia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka baginya dua pahala, akan tetapi apabila ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka baginya satu pahala.” (HR. Bukhari Muslim dan Amr bin Ash)
3.      Maslahah Mursalah (Kemaslahatan Umat)
Maslahah Mursalah yaitu : “menetapkan peraturan atau ketetapan undang-undang yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah atas pertimbangan penarikan kebaikan dan menghindarkan kerusakan”. Adanya surat nikah misalnya, walaupun tidak disebutkan secara tegas di dalam al-nash (al-Quran dan as-Sunnah), namun surat nikah tersebut diperlukan, untuk kemaslahatan umat agar menjadi bukti yang sah dan mendapat perlindungan hukum atas pernikahannya. Selain surat nikah, masih banyak hal lain yang termasuk produk maslahat al-mursalah, seperti ijazah, stempel surat, dan kartu tanda penduduk.
Para ahli pendidikan sejak dini harus mempunyai persiapan untuk merancang dan membuat paraturan sebagai pedoman pokok dalam proses berlangsungnya pendidikan sehingga pelaksanaan pendidikan islam tidak mengalami hambatan. Kegiatan ini tidak semuanya deterima oleh islam dibutuhkan catatan khusus sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf seperti yang dikutip oleh Ramyulis sebagai berikut:
a.       keputusan yang diambil tidak menyalahi keberadaan-keberadaan al-Quran dan Sunnah.
b.      apa yang diusahakan benar-benar membawa kemaslahatan dan menolak kemudharatan setelah melalui tahapan-tahapan observasi penganalisaan.
c.       kemaslahatan yang diambil merupakan kemaslahatan yang baru universal yang mencakup totalitas masyarakat.
Menurut Ramayulis, masyarakat yang berada di sekitar lembaga pendidikan islam berpengaruh terhadap berlangsungnya pendidikan, maka dalam setiap pengambilan kebijakan hendaklah mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat supaya jangan terjadi hal-hal yang dapat menghambat berlangsungnya proses pembelajaran.
4.      Urf (Nilai-Nilai dan Adat Istiadat Masyarakat)
al- ‘Urf  secara harfiah berarti sesuatu yang sudah dibiasakan dan dipandang baik untuk dilaksanakan. Adapun secara termenologi, al- ‘urf adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan, perbuatan maupun kesepakatan yang dilakukan secara terus menerus dan selanjutnya membentuk semacam hukum tersendiri.
D.    SIMPULAN
Dasar pendidikan islam tentu saja didasarkan kepada falsafah hidup umat islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sistem pendidikan islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dasar ideal atau pokok pendidikan islam itu ada dua, pertama Al-Quran dan kedua Sunnah Nabi Muhammad saw.
Adapun konsepsi dasar pendidikan islam yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw adalah:
1.      Disampaikan sebagai rahmatan li al-alamin.
2.      Disampaikan secara Universal
3.      Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak.
4.      Kehadiran Nabi sebagai evaluator atas segala aktivitas pendidikan.
5.      Perilaku Nabi sebagai figur identifikasi (uswah hasanah) bagi umatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis, 2010, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia.
Uhbiyati, Nur, 2005, Ilmu Pendidikan Islam. bandung : pustak setia.


[1] Prof. Dr. H. Ramayulis, 2010, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kalam Mulia, hlm. 121.
[2] Dra. Hj. Nur Uhbiyati, 2005, Ilmu Pendidikan Islam. bandung : pustak setia, hlm. 19.
[3] Ramayulis, Loc. cit.,
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid. hlm. 122.
[7] ibid.
[8] Diambil dari Al-Quran in word.
[9] Ibid.
[10] Ramayulis, Op. cit., hlm. 123.
[11] Ibid.
[12] Diambil dari Al-Quran in word.
[13] Ramayulis, Op. cit., hlm. 123.
[14] Ibid.

Kamis, 24 Oktober 2013

efektivitas pendidikan non formal



            Meningkatkan Efektivitas Pendidikan Non Formal dalam Pengembangan Kualitas Manusia         
A.                      P E N D A H U L U A N
Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.
Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.
B.                 Meningkatkan Efektivitas Pendidiakn Nonformal dalam Pengembangan Kualitas Manusia  
Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembangan kualitas  manusia (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.

1. Konsep Pendidikan Non Formal  dalam Meningkatkan Pengembangan Kualitas Manusia
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:
… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”
Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan peningkatan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia.dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
2 Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia.  untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi. 3. Pinsip-prinsip Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: • Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut. • Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri. • Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
• Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata. Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.
4. Meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembanagn kualitas manusia  masyarakat. Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.
Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan. Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka. Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.




C. K E S I M P U L A N
Dari apa yang telah diuraikan terdahulu dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembangan kualitas manusia sebagai berikut :
• Pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam upaya-upaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam menjalankan perannya dalam kehidupan.
• meningkatkan efektivitas pendidikan nonformal dalam pengembangan kualitas manusia Pendidikan nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya, pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
• Untuk mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis masyarakat, khususnya masyarakat desa




D.DAFTAR PUSTAKA

Tony Bush & Marianne Coleman. Manajemen mutu kepemimpinan pendidikan, (2012) IRCiSoD, Jogjakarta.
Faisal, Sanapiah, (tt). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.Nasution, S. (1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya
Sudjana SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama.
Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional