Kamis, 15 Maret 2012

EKONOMI PENDIDIKAN

Ekonomi Pendidikan

NILAI EKONOMI DARI PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai Investasi

Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Nilai Balikan Pendidikan

Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain
Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.

Nilai Ekonomi Pendidikan

Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.
Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.

Intervensi Ekonomi Secara Spesifik Pada Pendidikan

Pendapat yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.
Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
Daftar rujukan
Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004
9. HAL YANG DISUKAI SUAMI
Banyak pasangan suami-istri yang cekcok hanya karena masalah sepele. Padahal, seandainya para istri tahu apa saja yang tak disukai oleh suami, niscaya percekcokan itu tak bakal terjadi.
1. DILARANG MENEKUNI HOBI
Umumnya, suami paling tidak suka dilarang atau dibatasi oleh istri. Apalagi jika itu menyangkut hobi yang sudah lama ia geluti, pasti ia akan protes. Bagaimana pun hobi sangat berkaitan dengan kesenangan dan kepuasaan batinnya.
Yang harus dilakukan: Tak perlu marah atau protes pada suami, hanya karena ia larut dengan hobinya. Sebab, jauh sebelum Anda resmi jadi istrinya pun, hobi itu sudah lebih dulu akrab dalam kehidupannya. Jadi, jika suami suka lupa waktu karena hobi, ada cara mudah yang bisa Anda lakukan. Mintalah suami untuk sedikit mengurangi intensitas penyaluran hobinya. Misalnya, jika sebelumnya hampir tiap minggu ia pergi memancing, mintalah agar memancingnya 2 kali sebulan saja. Jika memungkinkan, bawalah serta keluarga. Dengan demikian, meski ia sibuk dengan hobinya, kebersamaan dengan keluarga tetap terjaga.
2. TERLALU DIATUR
"Papa harus pulang sebelum jam 8 malam, ya. Enggak boleh lewat. Apalagi kumpul-kumpul dulu sama teman-teman!" Sikap hobi mengatur tentu saja tidak disukai, karena ini menyangkut ruang gerak yang dibatasi. Biasanya, suami bukan semakin menurut, melainkan justru semakin menjadi-jadi.
Yang harus dilakukan: Bila suami sering pulang larut malam selewat jam kantor, ingatkan ia agar pulang jangan terlalu malam. Katakan bahwa Anda dan anak-anak menunggunya untuk makan malam bersama. Bisa juga Anda sampaikan melalui SMS. Yang penting adalah cara penyampaian Anda. Sebaiknya, ingatkan ia dengan kata-kata yang enak didengar, dengan ucapan sayang dan penuh perhatian. Biasanya, suami akan sadar bahwa kehadirannya sangat dinantikan keluarga.
3. DIMINTA MENGUBAH PENAMPILAN
Suami yang terbiasa berpenampilan cuek dengan rambut gondrong dan berpenampilan funky misalnya, tentu saja tak bakal nyaman jika tiba-tiba Anda memintanya mengubah penampilan. Memangkas rambut atau berpenampilan lebih rapi, misalnya. Ingat, ia lebih percaya diri dengan penampilannya yang sekarang.
Yang Harus Dilakukan: Maksud Anda memang baik, ingin melihat suami tampil lebih rapi dan berwibawa. Tapi jika gaya itu sudah menjadi bagian dari dirinya dan suami merasa nyaman dengan gaya itu, tentu agak sulit untuk mengubahnya dengan segera. Yang dapat Anda lakukan adalah memberikan masukan. Misalnya, "Papa kelihatan lebih rapi kalo rambutnya dipangkas sedikit, lho!" Guyon yang tanpa memaksa biasanya justru lebih ampuh ketimbang memaksa.
4. DIPAKSA-PAKSA
Siapa pun pasti akan merasa enggan jika dipaksa melakukan sesuatu yang di luar kehendaknya. Demikian pula suami. Memaksanya membelikan Anda seperangkat perhiasan emas, memaksanya makan malam di luar rumah di saat ia asyik menunggu siaran sepakbola di teve, tentu bukan sesuatu yang bijak. Akibatnya, bisa terjadi keributan antara Anda dan suami.
Yang Harus Dilakukan: Kuncinya, jeli-jelilah melihat situasi dan kondisi. Bila Anda menginginkan suami membelikan sesuatu, lihatlah apakah itu memang memungkinkan atau tidak. Saat yang tepat untuk mengutarakan keinginan Anda pada suami adalah saat ia sedang merasa bahagia. Misalnya, jika Anda ingin perhiasan, utarakan saat ia menerima kenaikan gaji atau menang tender. Jika Anda ingin mengajaknya makan malam, utarakan saat kesebelasaannya menang. Biasanya, seseorang yang sedang bahagia akan mengabulkan apa saja yang diminta oleh apapun yang diminta oleh orang yang mereka cintai.
5. TERLALU DIDIKTE
Banyak istri yang terlalu mendikte suami. Padahal, suami bukanlah anak kecil yang harus didikte untuk melakukan ini-itu. Jangan heran jika ia akhirnya merasa kesal karena Anda dikte terus-terusan.
Yang Harus Dilakukan: Banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus mendikte, kok. Yang penting, ada komunikasi antara Anda berdua. Contohnya, bila Anda menghendaki suami meluangkan waktunya untuk Anda dan anak-anak, cobalah membicarakannya saat Anda berdua sedang santai. Di meja makan, misalnya. Di saat itulah, Anda bisa membicarakan hal-hal yang selama ini terasa mengganjal. Membuat kesepakatan untuk berbagi tugas dalam hal pengasuhan anak, misalnya. Suami bertugas mengantar anak ke sekolah, sementara Anda bertugas menjemput.
6. DICEMBURUI BERLEBIHAN
Tidak semua suami senang istrinya cemburu. Apalagi jika rasa cemburu yang ditampakkan istri sudah melewati batas kewajaran alias cemburu buta. Tidak ada angin tak ada hujan, Anda tiba-tiba menuduh suami berselingkuh dengan wanita lain, misalnya. Kadangkala, penyebabnya hanya hal sepele, seperti perhatian suami yang berkurang. Anda sudah langsung tersinggung, merasa tak diperhatikan atau disayang lagi oleh suami. Biasanya seorang yang diliputi perasaan cemburu akan melakukan apa saja agar suaminya tidak melirik wanita lain. Memata-matai ruang gerak suami, misalnya.
Yang Harus Dilakukan: Cemburu bisa merupakan pertanda cinta Anda kepada suami. Tapi jika yang Anda lakukan adalah cemburu yang berlebihan, tentu lain persoalannya. Ini bisa berarti Anda meragukan cinta suami. Yang jelas, ketahui dulu dengan jelas apa yang menjadi pemicu kecemburuan Anda. Apakah benar ada wanita lain, atau sekadar tak lagi mendapat perhatian. Pada pasangan yang sudah memiliki anak, perhatian suami terkadang lebih tercurah untuk anak-anaknya dibandingkan istri. Ia menganggap tidak perlu sepenuhnya memberi perhatian untuk istri seperti saat awal perkawinan dulu. Inilah yang seringkali tidak disadari para istri. Jadi, tak perlu cemburu buta pada suami tanpa alasan yang jelas.
7. SELALU DICURIGAI
Perasaan selalu dicurigai dan tidak pernah dipercaya tentu akan membuat suami merasa tidak nyaman. Apalagi bila Anda mencurigainya telah melakukan sesuatu yang tidak jujur di belakang Anda. Misalnya mencurigainya telah berselingkuh, padahal belum tentu kebenarannya.
Yang Harus Dilakukan: Bila Anda merasa ada sesuatu hal yang mengganjal di hati dan berhubungan dengan tindak-tanduk suami, tak ada salahnya ditanyakan langsung kepadanya. Ini akan menghindarkan Anda dari menaruh kecurigaan tak beralasan pada suami. Tapi ingat, sebaiknya tahan emosi saat Anda menyampaikan unek-unek atau kekesalan Anda. Juga hindari pertanyaan yang menyudutkan. Carilah waktu yang tepat, misalnya saat berangkat tidur. Jika suami membantah kecurigaan Anda dengan alasan yang masuk akal, tak perlu melanjutkan kecurigaan itu. Intinya, curiga boleh saja, selama memang ada bukti. Kalau bukan Anda yang mempercayai suami, lantas siapa lagi?
8. DIBENTAK-BENTAK
"Kamu ini gimana sih, gitu saja tidak becus!" Kalimat bernada tinggi seperti ini tak jarang kita temukan keluar dari mulut istri. Posisi suami sebagai kepala keluarga yang seharusnya dihormati, tak lagi mereka indahkan. Bahkan tak jarang dilakukan di depan anak-anak. Ingat, tak semua suami bisa menerima sikap istri yang demikian.
Yang Harus Dilakukan: Emosi boleh saja, karena itu satu hal yang sangat manusiawi. Apalagi jika yang dilakukan suami tidak sesuai dengan kehendak hati. Tapi, tidak seharusnya Anda membentak apalagi mempermalukannya di depan anak-anak atau umum, bukan? Kalaupun ia melakukan kesalahan, tegurlah di saat Anda hanya berdua saja. Lampiaskan kekesalan dan kekecewaan Anda. Boleh emosi, tapi tetap dalam batas kewajaran. Dan yang harus diingat, Anda harus tetap menghargainya sebagai suami.
9. TIDAK DIHARGAI
Banyak istri yang berperilaku sepertinya tak lagi menghargai suaminya lagi. Penyebabnya tentu banyak dan bervariasi. Ada yang disebabkan posisi suami yang memang jauh di bawah istri, dari segi latar belakang sosial, finansial maupun karier. Atau penampilan istri yang jauh lebih menarik dibandingan suami. Hal-hal inilah yang seringkali membuat istri lantas menjadi sombong atau arogan. Di matanya, suami hanyalah pelengkap status. Akibatnya, suami merasa minder dan tak dihargai, dan istri pun bersikap semena-mena padanya.
Yang Harus Dilakukan: Perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Jadi, begitu Anda memutuskan menjadikan seorang lelaki sebagai pasangan hidup, terimalah ia dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya. Kalau ia bisa menerima kekurangan Anda, kenapa Anda tidak bisa menerima kekurangannya? Jangan memandang suami dari segi materi ataupun penampilan fisik, namun hormatilah ia sebagai sebagai kepala rumah tangga.